Insya Allah,
Nggak Janji Lho..
Assalamu’alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakatuh
Dalam pergaulan sehari-hari kita sering
menjumpai, bahkan juga melakukan, setiap kita berjanji dengan seseorang, kita
akan mengucapkan kata “Insya Allah”. Begitu mudah kata-kata itu meluncur dari
bibir, namun tidak semua orang paham betul apa dan bagaimana konsekuensi dari
kata-kata tersebut. Parahnya lagi, sering kali kata-kata tersebut digunakan
oleh sebagian orang sebagai alibi ketika ternyata orang yang berjanji tersebut
tidak mampu menepati janjinya. “maaf ya” saya kan tidak janji, saya hanya
bilang “Insya Allah”, begitu kilahnya. Dengan kata lain seakan-akan kata “Insya
Allah” adalah alat yang digunakan untuk menolak namun dengan cara halus.
Islam memang mengajarkan pemeluknya untuk
tidak berani menyatakan pasti terhadap apa yang akan ia lakukan esok hari.
Islam menegaskan kepada manusia, Allah lah kepastian tejadinya peristiwa atau
perbuatan. Manusia hanya perencana dan penyusun program, keputusan ada di
tangan-Nya. Allah sendiri pernah menegur Rasulullah, saat beliau memastikan kesanggupannya
esok hari untuk menceritakan kisah Ashhabul Kahfi kepada kaum Nashrani dan suku
Najran sebagai bukti atas kerasulan beliau. Karena beliau yakin Allah akan
memberikan wahyu kepadanya tentang kisah Ashhabul Kahfi tersebut sebelum esok
hari. Allah menegur Rasulullah melalui Firman-Nya;
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا
إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
Dan jangan sekali-kali kamu
mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok
pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya-Allah". Dan ingatlah kepada
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan
memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini". (Qs.
Al-Kahfi ayat 23-24)
Dalam ayat lain Allah juga
memperingatkan bahwa manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dan
dapat dilakukan esok hari. Manusia juga tidak akan pernah tahu di mana ia akan
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Semua itu merupakan rahasia Allah. Allah
berfirman:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”
(Qs. Luqman ayat 34)
Lalu apakah dengan serta merta dua
ayat di atas memerintahkan manusia untuk pasrah saja dan menyerahkan semua yang
akan terjadi esok hari kepada Allah tanpa perlu berusaha?
Tentu tidak demikian, maksud dari
kedua ayat di atas adalah hendaknya manusia tidak memastikan apa yang terjadi
ataupun pekerjaan yang akan dilakukan esok hari. Manusia harus tetap mengatur
dengan baik apa yang akan dikerjaannya esok hari. Ia harus cermat merumuskan
apa yang akan dilakukan dan megkalkulasi apa yang diperoleh dari hasil usaha
atau perbuatan yang dilakukan. Semua harus serba cermat dan tepat. Namun
demikian yang perlu ditegaskan adalah manusi tidak boleh memastikan apa yang
pasti akan ia dapatkan atau apa yang akan ia kerjakan esok hari. Karena yang
demikian adalah termasuk sifat sombong dan jumawa. Perencanaan memang harus,
namun memasrahkan hasil dari perencaan kepada Allah lebih harus. Semua itu
dimaksudkan agar jika hasilnya ternyata tidak sesuai dengan perencanaan yang
ditetapkan seorang tidak akan kecewa maupun stres.
Lebih dari itu Islam tidak hanya
memerintahkan manusia untuk merencanakan dan merumuskan apa yang akan
dilakukannya esok hari, bahkan juga memerintahkannya untuk mengevaluasi apa
yang telah diperbuat untuk esok hari. Jadi, dalam Islam hidup harus diatur
dengan baik. Allah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs. Al-Hasyr ayat
18)
Dalam kaitannya dengan janji,
Allah memerintahkan setiap orang beriman untuk menyatakan “Insya Allah” dalam
setiap janji yang diucapkannya. Namun itu bukan untuk berkilah saat ia tidak
dapat menepati janjinya. Apalagi sampai digunakan sebagai alibi yang membuat
mati kutu’ orang lain. “Saya kan bilang Insya Allah, enggak janji lho...!”
itulah kata yang sering kali kita dengar untuk berkilah saat ada protes dari
orang yang merasa dirugikan atau dicederai oleh janji yang tidak ditepati.
Ini jelas penerapan kata “Insya
Allah” yang tidak benar. Kata “Insya Allah” itu harus diposisikan dalam rangka
perjanjian yang sudah mendekati kenyataan. Bila seorang memang tidak dapat
menepati janji, sedari awal sebaiknya mengatakannya dsehingga tidak membuat
orang lain kecewa.
Mengingkari janji yang telah
diucapkan dengan menyatakan “Saya kan bilang Insya Allah, jadi saya tidak
janji...!” Jelas merupakan sikap yang tidak terpuji. Bahkan kalau hal semacam
ini menjadi kebiasaan, maka pelakunya akan terjerumus dalam lembah kemunafikan.
Bukankah salah satu tanda orang munafik adalah suka mengingkari apa yang ia
janjikan. Rasulullah Saw bersabda;
أيَةُ الْمُنَافِقِ
ثَلَاثٌ إذَا حَدَثَ كَذَبَ وَإذَا وَعَدَ أخْلَفَ وَإذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Ciri orang munafik itu
ada tiga, yaitu: jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia ingkari, dan
jika diberi amanah berkhianat.” (H.R. Muslim)
Kesimpulan:
Dalam hal penggunaan
kata “Insya Allah” sebagai seorang muslim yang berkeyakinan bahwa Allah maha
menguasai akan segala sesuatu, maka seyogyanya tidak mempermainkan kata
tersebut. Jika memilki keyakinan kuat bahwa janjinya dapat ia laksanakan maka
katakanlah “Insya Allah”. Namun jika memang tidak dapat menepati janji jangan
gunakan kata “Insya Allah” sebagai alat untuk berkilah saat tidak dapat
menepati janji.
Wallahu’alam bisshawab
0 komentar:
Posting Komentar