Pages

Senin, 08 Desember 2014

Tafsir Alquran surah An-Nisa ayat 34,35,128,129, dan 130 (Nusyuz, Syiqaq, dan Hakamain)

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dalam mahligai kehidupan rumah tangga tidak selamanya berjalan lurus, mulus bak air mengalir. Pastilah ada sebuah kerikil-kerikil ataupun batu loncatan, seperti beda pendapat ataupun kesalahpahaman. Ada beberapa permasalahan yang mungkin terjadi dalam pernikahan seperti nusyuz dan syiqaq. Berkaitan dengan dengan permasalahan-permasalah tersebut Allah Swt memberi petunjuk  kepada hamba-hambanya untuk mengatasi permasalahan-permasalahannya. hal ini dapat dilihat dalam surah An-Nisa ayat 34,35,128,129, dan 130.

A.    Pengertian Nusyuz, Syiqaq dan Hakamain
Secara kebahasaan, nusyuz berasal dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang berarti ”tempat tinggi”. Berarti ”sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri”, atau ”perubahan sikap suami atau isteri” Dalam pemakaiannya, arti kata an-nusyuuz ini kemudian berkembang menjadi ”al-’ishyaan” yang berarti ”durhaka”. Menurut hemat penulis yang dimaksud dengan sikap tidak patuh adalah tidak menunaikan hak dan kewajiban dari salah seorang diantara suami dan isteri. Sedangkan syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.[1] Adapun hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua suami istri tersebut.[2] Berkaitan dengan nusyuz, syiqaq dan hakamain ini Allah Swt jelakan dalam firmannya surah An-Nisa ayat 34, 35, 128,129 dan 130.
1.      Firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 34-35.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ﴿۳۶﴾ وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا﴿۳۵﴾

(34) Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (35) Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S An-Nisa: 34)[3]

2.      Firman Allah surah An-Nisa ayat 128,129, dan 130
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴿۱۲۸﴾ وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا﴿۱۲۹﴾ وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا ﴿۱۳۰﴾
128. “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 129. dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 130. jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.[4]

B.     Asbabun Nuzul dan Munasabah ayat
1.      Asbabun Nuzul surah An-Nisa ayat 34 dan 35
Pada suatu waktu datanglah seorang wanita menghadap Rasulullah Saw untuk mengadukan suatu masalah, yaitu ia ditampar mukanya oleh sang suami. Kemudian Rasulullah Saw bersabda “Suamimu itu harus diqishas (dibalas)”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah saw itu Allah Swt menurunkan ayat ke 34-35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishas kepada suaminya yang telah menampar mukanya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah saw. Ia bercerita bahwa mukanya ditampar oleh suaminya, yang suaminya tersebut adalah salah seorang sahabat anshar. Maksud kedatangan wanita tersebut adalah untuk menuntut balas terhadap perbuatan suaminya itu. Pada saat itu Rasulullah mengabulkan permohonannya, sebab belum ada ketegasan hukum dari Allah Swt. Sehubungan peristiwa tersebut Allah Swt menurunkan ayat ke 34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami untuk mendidik istrinya yang membangkang. Selain itu turun juga ayat ke-114 dari surat thaha yang artinya:
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."

Ayat ini turun sebagai teguran terhadap Rasulullah Saw. Beliau dilarang memutus suatu perkara sebelum ayat Alquran diturunkan, sebagaimana yang beliau lakukan memeberi hukum qishas terhadap suami atas gugatan istri tersebut. (H.R ibnu Jarir).[5]
2.      Asbabun Nuzul surah An-Nisa ayat 128, 129, 130
Pada waktu Saudah binti Zam’ah telah berusia lanjut dan dalm hatinya timbul keragu-raguan dan khawatir diceraikan oleh Rasulullah Saw, dia berkata “Wahai Rasulullah, hari giliranku aku hadiahkan kepada Aisyah”. Sehubungan dengan hal itu Allah Swt menurunkan ayat ke 128 sebagai ketegasan, bahwa seorang istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada istri yang lain, sebagimana yang telah dilakukan Saudah binti Zam’ah istri Rasulullah Saw. (H.R Abu Dawud dan Hakim dari Aisyah. Imam Tirmidzi meriwayatkan pla yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Pada waktu permulaan ayat 128 turun datanglah seorang wanita kepada suaminya seraya berkata “Aku ikhlas mendapat nafkah lahiriah saja darimu, sekalipun tidak mendapat nafkah batin, asalkan tidak diceraikan. Kamupun aku perselisihkan untuk menikah dengan wanita lain bila membutuhkannya”. Sehubungan dengan kata-kata seorang istri itu Allah Swt menurunkan ayat ini sampai akhir ayat, yang dengan tegas memberikan keterangan bahwa seorang istri diperbolehkan memberikan gilirannya kepada istri yang lain atau mempersilahkan suaminya menikah lagi, sekiranya si istri sudah tidak mampu melayani hubungan seksual, dengan mengajukan permohonan agar tidak diceraikan. Sebagai suami seharusnya mengabulkan permohonan istrinya untuk tidak menceraikan. (H.R. Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair).[6]
Ayat ke-129 diturunkan sehubungan dengan Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mencintai Aisyah melibihi kecintaannya terhadap istri-istri yang lain. Oleh sebab itu setiap saat Rasulullah Saw berdo’a “Ya Allah inilah giliranku sesuai dengan kemampuan yang ada pada diriku. Janganlah Engkau memaksakan sesuatu yang menjadi perintah-Mu di atas kemampuan yang ada pada diriku”. Rasulullah Saw dalam bentuk-bentuk lahiriah bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam hati sangat mencintaiAisyah (karena satu-satunya istri beliau yang gadis dan termuda) sehingga beliau merasa tidak dapat berbuat adil sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt. Sehubungan dengan hal itu Allah Swt menurunkan ayat ini sebagai ketegasan, dalam batiniah seseorang diperbolehkan tidak adil, sedangkan dalam lahiriah wajib berbuat adil. Namun demikian kecenderungan terhadap satu istri itu tidak boleh menyebabkan mengabaikan kewajiban terhadap yang lain.[7]
3.      Munasabah Ayat
Dalam ayat yang lalu, yakni ayat 33 Allah melarang masing-masing dari kaum laki-laki dan kaum wanita untuk iri hati terhadap kelebihan yang diberikan Allah kepada pihak lain, kemudian memberikan petunjuk agar di dalam masalah rizki mereka bersandar kepada kemampuan mereka di dalam berusaha. Selanjutnya Allah memerintahkan agar mereka memberikan bagian-bagian kepada para ahli waris. Di dalam pembagian ini tampak dengan jelas kelebiha kaum laki-laki atas kaum wanita. Di dalam ayat 34 surah An-Nisa ini akan disajikan sebab-sebab Allah melebihkan kaum laki-laki.[8] Selain berbicara mengenai kelebihan kaum laki-laki ayat 34 dan 35 ini juga membahas mengenai permasalahan dalam rumah tangga, yakni nusyuz dan syiqaq. Ayat 34 dan 35 ini juga bermunasabah dengan ayat 128,129, dan 130 yang sama-sama membahas mengani nusyuz dan syiqaq.
C.    Pokok Kandunagn Ayat
Dari firman Allah surah An-Nisa ayat 34, 35, 128, 129, dan 130 di atas ada beberapa pokok kandungan ayat yang dapat dijadikan pelajaran. Di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita
Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada masa lalu, mereka pada umumnya mereka sepakat manakala membedah pengertian “ar-rijâlu qawwâmûna ‘ala an-nisâ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat natural (fitri) antara keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena proses sosial.[9]
Al-Maragi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa sebagai konsekuensi dari tugas memimpin kaum wanita, kaum lelaki diwajibkan berperang dan kaum wanita tidak.[10] Di samping itu kaum lelaki diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada isterinya sedangkan kaum wanita tidak diwajibkan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ وَلَا تُلَامُ عَلَى كَفَافٍ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. Dahulukanlah memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggunganmu. Tangan yang di atas adalah lebih baik, daripada tangan yang di bawah” (HR. Muslim).[11]
Imam ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya.[12]
2.      Ciri wanita salehah
Salah satu ciri wanita salehah yang Allah Swt sebutkan dalam firma-Nya dalam surah An-Nisa ayat 34 adalah wanita yang taat kepada suaminya serta menjaga harta suaminya ketika suaminya tidak ada dirumah. Berkaitan  dengan hal ini Rasulullah saw bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
Tidak ada sesuatu yang bermanfaat bagi seorang mukmin setelah takwa kepada Allah selain isteri yang shalihah. Jika suami memerintahnya ia akan taat, jika dipandang menyenangkan, jika dia membagi (giliran) untuknya ia menerima, dan jika suami tidak ada ia menjaga kehormatan diri dan hartanya” (HR Ibnu Majah)[13]

 Alquran menggunakan kata ‘qanitah’ bukan ‘tha’i’ah’ karena kata tersebut mengandung makna kejiwaan. Memilki bayangan perasaan yang menyenangkan dan menyejukkan. Kondisi semacam ini lebih memungkinkan bagi terwujudnya ketenangan, kasih sayang, saling menutupi dan menjaga, antara dua jenis anak manusia di dalam rumah tangga.[14]
3.      Perintah untuk mendidik dan memberikan nasihat kepada isteri
Dalam ayat di atas Allah Swt telah menjelaskan bahwa salah satu kewajiban suami kepada istrinya adalah memberikan nasihat serta mendidiknya untuk tetap dalam jalur Islam. Namun jika setelah diberikan nasihat isteri masih belum kembali ke jalur yang benar maka suami boleh memisahkan diri dari tempat tidur. Dan jika hal demikian masih belum dapat memberikan pelajaran kepada isteri, maka suami diperbolehkan memukulnya dengan pukulan yang tidak sampai memberi bekas.
4.      Perintah untuk mengirimkan hakam (pendamai) bagi mereka yang bersengketa.
5.      Kewajiban memelihara keadilan semaksimal mungkin
Allah menerangkan bahwa keadilan di antara para istri itu merupakan hal yang mustahil dapat ditegakkan. Oleh karena itu suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk menegakkannya.[15] A. Mudjab Mahali dalm bukunya Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah Swt menurunkan ayat 129 surah An-Nisa sebagai ketegasan bahwa dalam batiniah seseorang diperbolehkan tidak adil, sedangkan dalam lahiriah wajib berbuat adil. Namun demikian kecenderungan terhadap satu istri itu tidak boleh menyebabkan mengabaikan kewajiban terhadap yang lain.[16]
D.    Penjelasan Ayat, Hadis Terkait dan Pendapat Mufassir
1.      Nusyuz
Pada pembahasan yang telah lalu telah penulis jelaskan secara singkat mengena nusyuz yang secara sederhana dapat diartikan dengan bencinya salah seorang dari dua pasangan terhadap pasangannya. Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa nusyuz ini terbagi menjadi dua, yakni nusyuz yang dilakukan oleh istri dan nusyuz yang dilakukan oleh suami.
a.       Nusyuz yang dilakukan istri
Yang dimaksud dengan nusyuz yang dilakukan istri adalah melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang yang dapat diterima syara’. Sebagai contoh adalah istri tidak menaati suaminya atau menolak diajak ketempat tidur tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan oleh syara. Berkaitan dengan hal ini Allah Swt memberikan empat tahap jalan keluar untuk mengatasi nusyuz isteri.
1)      Nasehat
Pemberian nasehat. Yaitu, dengan cara mengingatkan isterinya secara sopan, lemah lembut dan jelas, agar bisa menyadari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Berkaitan dengan hal ini Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa hendaklah seorang suami tersebut mengingatkan akan kedudukan, dosa bila menyelisihi suami dan bermaksiat padanya. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أَتَيْتُ الْحِيرَةَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَقُلْتُ رَسُولُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُسْجَدَ لَهُ قَالَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي أَتَيْتُ الْحِيرَةَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَرَرْتَ بِقَبْرِي أَكُنْتَ تَسْجُدُ لَهُ قَالَ قُلْتُ لَا قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحَقِّ
“dari Qais bin Sa'd, ia berkata; aku datang ke Al Hirah (negeri lama yang berada di Kufah), maka aku melihat mereka bersujud kepada penunggang kuda mereka yang pemberani. Lalu aku katakan; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih berhak untuk dilakukan sujud kepadanya. Qais bin Sa'd berkata; kemudian aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan aku katakan; sesungguhnya aku datang ke Al Hirah dan aku melihat mereka bersujud kepada penunggang kuda mereka yang pemberani. Engkau wahai Rasulullah, lebih berhak untuk kami bersujud kepadamu. Beliau berkata: "Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau melewati kuburanku, apakah engkau akan bersujud kepadanya?" Qais bin Sa'd berkata; aku katakan; tidak. Beliau bersabda: "Jangan kalian lakukan, seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan para wanita agar bersujud kepada suami-suami mereka, karena hak yang telah Allah berikan atas mereka”[17]

Rasulullah Bersabda;
إِذَا بَاتَتْ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
“Apabila seorang wanita bermalam sementara ia tidak memenuhi ajakan suaminya di tempat tidur, maka Malaikat melaknatnya hingga pagi”(HR. Bukhari).[18]
Dari dua hadis di atas jelaslah bahwa seorang istri haram hukumnya berbuat durhaka kepada suami. Oleh sebab itu jika istri melakukan nusyuz maka hal yang pertama harus dilakukan oleh suaminya adalah dengan menasehatinya dan menyadarkannya dengan memberi tahu bagaimana kedudukan istri.
Namun, satu hal yang sangat perlu untuk diperhatikan adalah sebelum melangkah ke tahap pemberian nasihat ini, suami tentunya harus melakukan introspeksi terlebih dahulu. Karena, bisa jadi nusyuz-nya istri tersebut adalah sebagai dampak atau akibat dari kesalahan suami sendiri.  Jika ini yang terjadi maka suamilah yang harus berbenah. Tapi, jika memang terbukti isteri yang bersalah, maka barulah tahap pemberian nasihat ini bisa dilaksanakan. Saat memberikan nasihat, baik juga dijelaskan kepada isteri bahwa nusyuz secara hukum bisa menggugurkan hak-hak isteri atas suaminya.
2)       Memisahkan diri dari tempat tidur
Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an disebutkan bahwa dalam kehidupan rumah tangga tempat tidur adalah tempat yang sangat menggoda dan menarik.[19] Oleh sebab itu dalam keadaan seperti ini menurut Imam Al-Qurthubi memalingkan diri dari tempat tidur (tidak menggauli istri) merupakan suatu cara yang sangat efektif dalam mengatasi nusyuz yang dilakukan oleh istri.[20]
Seorang istri yang benar-benar mencintai suaminya, tentu akan merasa susah dan gelisah (galau) dengan tindakan yang dilakukan suaminya sehingga dia akan kembali untuk berbaikan. Dan jika ia membencinya maka akan muncul pertentangan dari istri, hingga akan nampak bahwa penentangan datang dari pihak istri.[21]
Perlu diperhatikan bahwa dlam hal memisahkan dari tempat tidur harus menggunakan etika. Sayyid Qutb menyebutkan bahwa memisahkan dari tempat tidur tidak boleh terang-terangan di tempat peraduan suami istri. Sebab hal ini dikhawatirkan akan berdampak buruk jika dilihat oleh anak-anak. memisahkan dari tempat tidur juga tidak boleh dihadapan orang asing sebab akan merendahkan istri atau mengusik harga dirinya sehingga membuatnya lebih durhaka.[22]
3)      Memukul istri
Dalam hal cara mengatasi nusyuz yang dilakukan istri Sebelum allah membolehkan suami untuk memukul istri, Allah memerintahkan agar memulainya dengan nasihat terlebih dahulu kemudian memisahkan diri dari tempat tidur.  Namun jika kedua cara tersebut belum berhasil, maka diperbolehkan untuk memukul, karena itulah yang dapat memperbaikinya dan yang dapat mendorongnya untuk memenuhi hak suaminya. Sedangkan pukulan di sini adalah pukulan pendidikan bukan pukulan yang menyakitkan sebab tujuannya adalah untuk memperbaiki bukan untuk yang lain[23]. Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda;
Bertakwalah dalam soal wanita karena kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah dan kalian punya hak atas mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian seseorang yang kalian tidak menyukainya, jika mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan.”( H.R. Muslim)[24]

Imam Ash-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa sekalipun memukul ini dibolehkan namunpara ulama sepakat bahwa tidak memukul itu lebih baik, sebab Rasulullah saw bersabda:
وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ (رواه البيهاقي عن ام كُلثوم)
Artinya: “Orang-orang baik kamu tidak akan memukul”[25]
b.      Nusyuz yang dilakukan suami
Nusyuznya suami ialah acuh terhadap istrinya, tidak mencintainya.[26] Seorang istri diberi hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya, namun tentunya ia tidak bisa menempuh cara hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita dengan laki-laki dan lemahnya kemampuan serta kekuatannya. Seorang istri yang cerdas akan mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya sebagai suami yang baik sebagaimana sedia kala, sebagai pasangan yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati nusyuz suaminya ia bisa melakukan hal-hal berikut ini:
1)      Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia di balik nusyuz suaminya. Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan diriku?
2)      Menasehati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah wajibkan padanya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan sebagainya.
3)      Sepantasnya bagi istri untuk selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari jalan agar suaminya senang padanya. Maka ketika ia mendapati suaminya menjauh darinya, ia bisa melakukan bimbingan Alquran:
Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata bahwa istri yang khawatir suaminya berbuat nusyuz atau berpaling darinya maka dibolehkan baginya untuk mengadakan perdamaian dengan suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya atau ia menggugurkan sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami dalam rangka mencari simpati dan rasa ibanya, juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai). Hal senada juga dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Ia berkata:
“Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha suaminya dan kapan saja istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya atau nafkahnya atau kedua-duanya, maka hal ini dibolehkan.”[27]

Sedangkaan Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa semua bentuk perdamaian itu diperbolehkan, yaitu dalam bentuk suami memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi istri harus bersabar, atau istri memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi suami harus mengutamakannya, atau perdamaian ini terjadi dengan kesabaran atau pengutamaan dengan tanpa memberi sesuatupun.[28]
2.      Syiqaq dan Hakamain
Syiqaq berasal dari bahasa Arab “syaqqa-yasyuqqu-syiqaaq”, yang bermakna “al-inkisaar”, pecah, berhamburan. Sedangkan  syiqaq menurut istilah oleh ulama fikih diartikan sebagai perpecahanatau perselisihan yang terjadi antara suami istri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya. Syiqaq merupakan krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua pihak tidak dapat mengatasinya.[29] Daam hal ini Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang penengah, yakni  dari pihak suami dan  pihak istri yang disebut hakamain.
Berkaitan dengan masalah hakamain ini, Al-Maragi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang mengutus penengah boleh siapa saja. Sebab Allah Swt menggunakan lafal yang umum dalam perintahnya untuk mengutus penengah. Hal ini termasuk di dalamnya suami istri dan kaum kerabatnya. Namun yang paling utama untuk mengutus hakam adalah mereka. Jika tidak ada di antara mereka berdua yang mengutus, maka kaum muslimin yang mendengar persoalan mereka hendaknya berusaha memperbaiki hubungannya.[30]
Adapun mengenai apakah hakam tersebut wajib dari keluarga suami istri, para ulama berbeda pendapat. Menurut zhahir ayat di atas, hakam itu dipersyaratkan dari keluarga, karena dalam ayat tersebut dikatakan “seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam dari keluarga istri” dan ini menunjukan kewajiban. Namun jumhur ulama mengatakan bahwa hal tersebut adalah sunah bukannya wajib. Mereka mengatakan “Apa bila seorang qhadi mengutus dua hakam dari orang luar itu boleh, sebab fungsi dari hakam itu adalah untuk mengetahui hal ihwal suami istri dan berupaya untuk mendamaikannya.[31] Imam Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya “Cukup mengirim satu utusan, karena Allah Swt memutuskan soal zina dengan empat saksi. Kemudian Nabi Saw mengirimkan seorang laki-laki yang bernama unais, kepada wanita yang berzina dan beliau (Nabi) berkata kepadanya:
اِنِ اعْتَرَفَتْ فضارْجثمْهَا
Artinya: “Jika dia mengaku (berzina) maka rajamlah ia.[32]
Dalam hal ini ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan oleh hakam atau juru damai. Beberapa ketentuan tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Kedua juru damai ini harus bebas dari pengaruh-pengaruh yang dapat merusak suasana kehidupan dan mempersulit permasalahan.
b.      Kedua juru damai tersebut harus berupaya keras menjaga citra keluarga yang asli, merasa belas kasihan terhadap anak-anak mereka yang masih kecil, jauh dari keinginan untuk memenangkan salah satu dari kedua belah pihak.
c.       Pada saat yang sama kedua juru damai harus menjaga rahasia suami istri, sebab keduanya adalah keluarga mereka juga. Bukan karena takut rahasia tersebut terbongkar, akan tetapi karena tidak ada manfaat yang didapat dari membongkar rahasia tersebut.
d.      Kedua juru damai berkumpul untuk mencari solusi dan perbaikan seandainya pasangan suami istri tersebut masihmenginginkan perbaikan. Biasanya hanya rasa kesal yang menutupi keinginan ini. Tetapi dengan kemauan kuat dari kedua juru damai untuk mendamaikan kedua pasangan tersebut, mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada mereka.[33]
e.       Satu hal sangat perlu diperhatikan adalah Apabila kedua pasangan ini tidak bisa didamaikan kembali maka kedua hakim tersebut berhak untuk memisahkan antara keduanya, menurut pendapat yang rajih (kuat), dan ini yang dipegangi oleh madzhab Malikiyyah, satu riwayat dari Syafi‘iyyah dan satu riwayat dari Hanabilah.[34]
E.     Hukum, petunjuk  dan pelajaran ayat
1.      Langkah yang ditempuh Islam untuk mengatasi nusyuz istri. Pertama memberi nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dengan tutur kata yang baik. Kedua pisah ranjang dan tidak dicampuri. Dan yang ketiga pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan.
2.      Haram hukumnya seorang suami mencari-cari menyakiti istrinya dengan alasan bahwa ayat Alquran membolehkan suami memukul istrinya.
3.      Bila terjadi pertengkaran yang sangat hebat, maka dicari jalan dengan bertahkim, yaitu dengan mengutus seorang hakam dari keluarga suami dan satu lagi dari keluarga istri.
4.      Sunah bahwa hakam atau juru damai itu dari pihak keluarga, sebab mereka adalah yang paling tahu mengenai hal ihwal suami istri tersebut.
5.      Wajibnya berbaik sangka kepada Allah Swt jika peramaian tidak dapat mencapai kata sepakat.
6.       Diperbolehkannya bahwa dalam batiniah seseorang diperbolehkan tidak adil, sedangkan dalam lahiriah wajib berbuat adil. Nabun tetap saja keadilan harus semaksimal dilakukan.


[1]Abdur Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 241.
[2]Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1988, h. 243.
[3]Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Kelompok Gema Insani, 2002, h.  123.
[4]Ibid., h. 143.
[5]A. Mudjab Mahali, asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an, Cet 1, Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, 2002, h. 223-224.
[6]Ibid., h. 280.                         
[7]Ibid., h. 281.
[8]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, alih bahasa Bahrun Abu Bakar, Cet 2, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, h. 40.
[10]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi..., h. 41.
[11]Shahih Muslim, software kutub At-Tis’ah  
[12]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni,  Cet 3, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003, h. 405.
[13]Sunan Ibnu Majah, software kutub at-tis’ah
[14]Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita (Terjemah Tafsir Al-Quran Al-Azhim li An-Nisa karya), alih bahasa Samson Rahman, Cet 1, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2004, h. 517.
[15]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi..., h. 289.
[16]A. Mudjab Mahali, asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an..., h. 281.
[17]Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi bagian 5(Terjemah  Al-Jami’ Li Ahkami Al-Quran karya Imam Al-Qyrthubi ), cet 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 398.
[18]Shahih Bukhari, software Kutub At-tis’ah
[19]Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zilalil Qur’an Jilid 3, alih bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tahmid dan khoiril halim, Cet 1, Jakarta: robbani press, 2002, h. 81.
[20]Ahmad Khotib, Tafsir Al-Qurthubi bagian 5..., h. 399.
[21]Ibid.
[22]Sayyid Qutbh, Tafsir Fi Zilalil Qur’an Jilid 3..., h. 83.
[23]Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi bagian 5..., h. 401.
[24]Ibid., h. 403.
[25]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni..., h. 410.
[26]Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1985, h. 160.
[28]Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi bagian 5..., h. 959.
[29]H.Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, Kencana: Jakarta, 2006, h. 241
[30]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi...,h. 47.
[31]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni..., h. 411.
[32]Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi bagian 5..., h. 410.
[33]Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita (Terjemah Tafsir Al-Quran Al-Azhim li An-Nisa karya)..., h. 527.

5 komentar:

  1. Sangat bermanfaat. Setelah saya membaca saya mendapatkan ilmu untuk ujian besok.. hihih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah jika dapat membantu, Terimakasih sudah mau mampir dan membaca :D

      Hapus
  2. Ass.muallaikum wrt.wbr pa Ustad..berikanlah arahan manakala seorang istri lebih meninggikan guru agamanya (mungkin tanpa disadari) dan merendahkan kami (sebagai suaminya) dimuka umum dengan menyuruh kami hormat padanya pada acara umum yang kami adakan. terimakasih. Wass.wrt wbr.

    BalasHapus
  3. Penjelasan tambahan: hormat yg kami maksud diatas hormat yang berlebihan melebihi hormat yg kami berikan kepada tamu lainnya.

    BalasHapus
  4. Terima kasih Blog nya sangat membantu

    BalasHapus