Pages

Jumat, 31 Oktober 2014

Hukum Berniat ketika Istinja

Hukum Berniat ketika Istinja
Pertanyaan;
Apakah ketika istinja seseorang wajib berniat sebagaimana berwudhu berdasarkan hadis;
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“hanyasannya Semua perbuatan tergantung niatnya”
Jawaban;
Tidak wajib seseorang berniat ketika istinja. Namun disunahkan berniat ketika itu untuk mendapatkan pahala dari Allah. Perhatikan ta’bir berikut;
النية في التروك كترك الرياء وغيره من المنهي عنه. إن المقرر شرعاً: أن ترك المنهي عنه لا يحتاج إلى نية للخروج عن عهدة النهي، وإنما لحصول الثواب بأن كان كفّاً: وهو أن تدعوه النفس إليه، قادراً على فعله، فيكف نفسه عنه خوفاً من ربه، فهو مثاب، وإلا فلا ثواب على تركه، فلا يثاب على ترك الزنا وهو يصلي، ولا يثاب العنِّين (العاجز عن الجماع) على ترك الزنا، ولا الأعمى على ترك النظر المحرم.
وهناك أعمال في حكم التروك، لترددها بين أصلين: الأفعال من حيث إنها فعل، والتروك من حيث إنها قريبة منها، رجح الأكثرون عدم النية فيها، لمشابهة التروك، وذلك مثل إزالة النجاسة، ورد المغصوب والعواري، وإيصال الهدية وغير ذلك، فلا تتوقف صحتها على النية المصححة، لكن يتوقف الثواب فيها على نية التقرب.
Niat dalam perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan seperti meninggalkan riya atau perkara-perkara yang dilarang  (agama) Sebagaimana yang ditetapkan syara’. Meninggalkan perkara-perkara yang dilarang oleh agama tidak memerlukan niat. Namun apabila dimaksudkan untuk mendapatkan pahala maka perlu niat jika dalam pelaksanaannya ada proses menahan diri. Yaitu apabila nafsu mengajak melakukan perbuatan dosa, dan orang tersebut mampu melaksanakannya, namun ia menahan diri karena takut kepada Allah. Apabila ini yang terjadi, maka orang tersebut mendapat pahala. Apabila tidak ada proses semacam ini, maka orang yang meninggalkannya tidak mendapat pahala. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan perzinahan tidak mendapat pahala ketika ia sedang melakukan shalat. Orang yang tidak mampu berzina dan meninggalkan perzinahan juga tidak mendapat pahala. Orang yang buta dan dia tidak melihat yang diharamkan  juga tidak mendapat pahala.
Ada juga beberapa perbuatan yang berada di antara dua kutub; amal pelaksanaan (al-fi’il) dan meninggalkan (at-tarku). Namun hal ini ditetapkan sebagai perbuatan yang masuk kategori at-tarku, sehingga kebanyakan ulama menetapkan bahwa perbuatan tersebut tidak memerlukan niat. Dengan pertimbangan, ia sama dengan perbuatan at-tarku yang murni. Umpamanya adalah menghilangkan najis, mengembalikan barang yang di-ghasab, atau barang pinjaman dan menyampaikan hadiah. Sahnya perbuatan ini tidak memerlukan niat, namun penetapan pahala bagi perbuatan-perbuatan tersebut memerlukan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Kesimpulan
Istinja merupakan perbuatan yang termasuk dalam kategori menghilangkan najis. Oleh sebab itu, karena najis adalah sesuatu yang memang dituntut untuk dihilangkan maka tidak perlu berniat untuk mencapai sahnya instinja tersebut. Namun demikian jika menginginkan pahala maka ia harus berniat di dalam hati. Kaidah fikih menyebutkan;
لا ثواب إلا بنية
            “Tidak ada pahala kecuali dengan niat”
Wallahu’alam

Minggu, 26 Oktober 2014

Empat cara ampuh mengatasi malas beribadah dan gejolak maksiat


Assalamu’alaikum Wa rahmatullahi Wa barakatuh
Tidak dapat dipungkiri kita sebagai manusia tentu tidak akan pernah luput dari yang namannya rasa malas beribadah dan juga maksiat. Pasti dan tidak mungkin tidak rasa malas beribadah dan juga maksiat pasti sewaktu-waktu dapat menghampiri kita. Oleh sebab itu Habib Abdullah al-hadad menjelaskan dalam kitab beliau Risalah Muawanah mengenai cara yang dapat ditempuh oleh seseorang untuk mengatasi malas beribadah dan gejolak maksiat. Dalam hal ini menurut beliau ada beberapa cara;

1.      Dengan mengingat bahwa Allah Swt maha mendengar, maha melihat, maha mengetahui akan segala sesuatu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Ini selaras dengan firman Allah;
إِنَّ اللَّهَ لا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الأرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (Qs. Al-Imran ayat 5)
Oleh sebab itu jika kita merasakan diri kita mulai malas beribadah ataupun berbuat maksiat, ingatlah bahwa Allah maha mengetahui dengan apa yang kita lakukan.

2.      Jika cara pertama tidak dapat dilakukan sebab sangat minimnya ma’rifat kita kepada Allah, lakukanlah cara kedua, yakni dengan mengingat bahwa disamping kanan dan kiri kita ada dua malaikat yang selalu mengintai apapun yang kita perbuat. Mereka pasti akan mencatat segala sesuatu yang kita lakukan. Allah berfirman;
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qs. Al-Qaf ayat 18)

3.      Jika cara kedua tidak mampu untuk mengatasi malas kita, maka ingatlah bahwa kematian itu dapat datang kapan saja. Siapa yang tahu kapan kita akan mati? Bisa saja minggu depan, besok, satu jam kedepan, atau bahkan detik ini juga. Allah berfirman;
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. Luqman ayat 34).

4.      Jika cara ketiga juga tidak mampu untuk mengatasi malas kita, ingatlah akan apa yang Allah janjikan berkaitan dengan pahala yang besar bagi orang yang berbuat baik dan adzab yang pedih bagi orang yang berbuat maksiat.

Oleh karena itu katakanlah kepada diri kita “Wahai diri (yang tidak memilki apapun)! Pikirkanlah bagaimana kehidupan kelak setelah meninggal? Kehidupan yang penuh dengan kesusahan, kesulitan dan lain sebagainya. Pikirkanlah bahwa setelah meninggal tempat yang kita tuju hanya ada 2. Bila tidak syurga pastilah neraka.

Wallahu ‘alam
Marilah kita berusa agar dapat mengamalkannya, semoga kita mendapat petunjuk dari-Nya.


Dikutip dari kitab Risalah Muawanah hal. 6
ومتى رأيت من نفسك تكاسلاً عن طاعته أو ميلاً إلى معصيته فذكرها بأن الله يسمعك ويراك ويعلم سرك ونجواك، فإن لم يفدها هذا الذكر لقصور معرفتها بجلال الله تعالى فاذكر لها مكان الملكين الكريمين اللذين يكتبان الحسنات والسيئات واتل عليها (إذ يتلقَّى المتَلقيانِ عن اليمين وعن الشمال قعيد ما يلفِظُ من قول إلا لديه رقيب عتيد) فإن لم تتأثر بهذا التذكير فذكرها قرب الموت وأنه أقرب غائب ينتظر، وخوِّفها بهجومه على غرة وأنه متى نزل بها وهي على حالة غير مرضية تنقلب بخسران لا آخر له، فإن لم ينفعها هذا التخويف فاذكر لها ما وعد الله به من أطاعه من الثواب العظيم وما توعَّد به من عصاه من العذاب الأليم، وقل لها يا نفس ما بعد الموت من مستعتَب وما بعد الدنيا من دار إلا الجنة أو النار فاختاري -لنفسك إن شئت- طاعة تكون عاقبتها الفوز والرضوان والخلود في فسيح الجنان، والنظر إلى وجه الله الكريم المنان، وإن شئت، معصية يكون آخرها الخزي والهوان والسخط والحرمان والحبس بين طبقات النيران، فعالج نفسك بهذه الأذكار عند تقاعدها عن الطاعة وركونها إلى المعصية فإنها من الأدوية النافعة لأمراض القلوب

Selasa, 14 Oktober 2014

“We Are Connected”



"We Are Connected
 


Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak akan pernah lepas dari interaksi antar sesamanya merupakan sebuah keniscayaan. Dalam sejarah umat manusia belum ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa melakukan interaksi dengan manusia yang lain. Jikapun ada pasti ia akan merasa sangat kesepian. Bahkan jika kita flashback pada asal muasal mengapa Hawa diciptakan adalah lantaran Nabi Adam manusia pertama merasakan kesepian.
Berkaitan dengan hal ini dapat dipahami bahwa antara manusia satu dengan manusia lain pasti melakukan interaksi. Dengan kata lain pada hakikatnya manusia satu dan manusia yang lain adalah saling terhubung menjadi satu  We are Connected”. Bukti bahwa kita semua terhubung adalah firman Allah;
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Qs. Al-Hujurat Ayat 10)
Rasulullah Saw bersabda;
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain." kemudian beliau menganyam jari jemarinya." (HR. Bukhari)
Islam sebagai agama yang paling sistematis dalam mengatur interaksi antar satu manusia dengan manusia yang lain mengajarkan agar sebelum melakukan interaksi, seyogyanya memikirkan tentang akibat dari interaksi yang akan ia lakukan. Rasulullah Saw bersabda;
إِذَا اَرَدْتَ أَنْ تَفْعَلَ أَمْرًا فَتَدَبَّرْ عاَقبِتَهَ فَإِنْ كَانَ خَيْرًا فَامْضِ وَإِنْ كَانَ شَرًّا فَانْتَهِ

“Apabila engkau hendak mengerjakan suatu perkara, maka pikirlah dahulu akibatnya, apabila akibatnya baik, maka kerjakanlah, dan apabila akibatnya buruk, maka tinggalkanlah.” (HR. Ibnu Mubarak) 
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya agar memperhitungkan semaksimal mungkin akan akibat dari perbuatan yang akan dilakukan. Bahkan tidak hanya perbuatan, perkataan pun demikian. Sebagai seorang Muslim sudah sepatutnya ia menjaga lisannya agar tidak menyakiti hati saudara Muslimnya. Rasulullah Saw bersabda;
اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ (رواه البخارى)
“Seorang Muslim sejati adalah orang yang  selamat muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya (perbuatannya). Dan orang Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah”.(H. R. Bukhari).

“We Are Connected
Seorang Muslim sudah sepatutnya menanamkan dalam hatinya bahwa setiap tindakan yang ia perbuat berpotensi dapat berpengaruh terhadap kehidupan orang lain. Sebagai contoh kecil misalkan kita melihat paku kecil berkarat yang ada ditengah jalan dan kita memutuskan untuk tidak menyingkirkannya, maka inilah awal rentetan kejadian yang mungkin saja terjadi dan bisa jadi akan terjadi.
Pertama, karena kita memutuskan untuk tidak menyingkirkannya, maka akan ada seseorang yang terkena paku tersebut, terluka dan karena berkarat akan menjadi infeksi. Karena infeksi dia akan sakit dan tidak bisa bekerja, karena tidak bisa bekerja maka penghasilannya akan berkurang, karena penghasilan berkurang maka keluarganya akan terkena dampaknya, entah itu tidak sekolah, tidak makan atau bahkan tidak bisa membayar hutang… dan seterusnya dan seterusnya… Efek berantai akan semakin membuat banyak orang yang bahkan mungkin sama sekali tidak pernah kita temui akan merasakan dampak dari keputusan kita tidak menyingkirkan paku yang seharusnya bisa menghindari dari masalah tersebut.
Sebaliknya jika paku berkarat tersebut kita singkirkan, maka orang lain akan selamat karena perbutan kita.  Dan bisa jadi karena perbuatan kecil tersebut dapat menolong kita di hari pembalasan kelak. Bukankah ada sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa (bukan dosa mensyirikan-Nya) seseorang yang membuang duri dari tengah jalan. Rasulullah berssabda;
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَلَى الطَّرِيقِ فَأَخَذَهُ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan lalu menemuklan potongan duri di jalan lalu diambilnya. Kemudian dia bersyukur kepada Allah maka Allah mengampuninya”. (HR. Bukhari)
Contoh lain dari perbuatan yang dapat berpengaruh kepada kehidupan orang lain adalah ketika ada teman kita yang tidak masuk kuliah, kemudian kita tidak memberi tahu kepadanya bahwa pada saat ia tidak masuk kuliah ada beberapa tugas dari dosen yang harus diselesaikan minggu depan, inilah awal dari bencana yang mungkin terjadi. Kemungkinan terburuknya adalah kita akan dibenci dan dimusuhi oleh teman kita.

Kesimpulan
Biasakanlah berfikir sebelum melakukan tindakan. Sebab banyak perbuatan kecil menjadi besar karena tindakan kita yang tidak terduga.

كَثِيْرٌ مِنَ الأعْمالِ الصِّغارِ تَكُوْنُ كِباراً لِأنَّ أعْمالَنا الَّتِيْ قَدْ تكونُ مِنْ غَيْرِ مَظْنُوْنٍ