Pages

Senin, 23 Februari 2015

4 Tahapan Dalam Pengharaman Khamar



Khamar atau lebih identik dengan minuman yang memabukkan telah diketahui oleh umat Muslim sebagai minuman yang haram untuk dikonsumsi. Bahkan tidak hanya sebatas pengharaman, Allah melalui lisan Rasul-Nya juga memeberikan sanksi di dunia bagi peminumnya, penjualnya, dan pembuatnya. Ada banyak hadis yang mengisyaratkan demikian. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik radliallahu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendera peminum khamar dengan pelepah kurma dan sandal, dan Abu Bakar pernah men-jilid sebanyak empat puluh kali.[1]
Jika dilihat dari kacamata sejarah pembentukan tasyri’ (hukum Islam) pada dasarnya pemberian label hukum haram pada khamar tidaklah sekaligus. Setidaknya ada 4 tahap yang dilalui sampai terbentuknya label haram. 4 tahap tersebut dapat kita ketahui melalui pengkajian terhadap Asbab An-Nuzul ayat-ayat yang berkaitan dengan khamar.
1.      Tahap pertama
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ﴿٦٧﴾
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan” (QS. An-Nahl 67)

Pada ayat di atas Allah sama sekali tidak menyinggung tentang dosa dan juga keharaman bagi peminum khamar. Dengan kata lain pada saat awal Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad Sallahu’alaihi Wa Sallam datang khamar bukanlah minuman yang haram untuk dikonsumsi.
2.      Tahap kedua
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا... ﴿۲۱۹﴾
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya...”. (QS. Al-Baqarah 219)

Mudjab Mahalli dalam bukunya Asbabun Nuzul (Studi Pendalaman Alquran) menyebutkan bahwa ayat tersebut adalah ayat pertama yang menyinggung tentang khamar.[2] Ayat itu turun ketika Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alihi Wa Sallam pertama kali memasuki kota Madinah. Pada saat itu Beliau mendapati penduduk Madinah gemar meminum arak (minuman yang memabukkan) dan makan dari hasil perjudian.
Kemudian mereka menanyakan tentang kebiasaan tersebut. Sehubungan dengan hal itu Allah menurunkan ayat ke-219 dari Surah Albaqarah tentang mereka yang menanyakan khamar. Setelah mendapat jawaban mereka berkata “Tidak diharamkan kita meminum khamar, hanya saja berdosa besar”. Oleh sebab itu mereka meneruskan kebiasaan tersebut.[3]
3.      Tahap Ketiga
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ﴿۶۳﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...” (QS.An-Nisa 43)

Ayat di atas merupakan tahapan selanjutnya sebelum pemberian label haram pada khamar. Imam Alqurtubhi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat tersebut turun dilatar belakangi suatu kejadian dimana ada seorang laki-laki yang meminum khamar kemudian maju untuk mengimami shalat. Karena khamar yang diminum menyebabkan ia mabuk, bacaan yang dibacanya pun menjadi keliru. Ia keliru membaca ayat قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ yang seharusnya dibaca قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. Sehubungan dengan itu turunlah ayat ke-43 dari surah An-Nisa.[4]
Meskipun demikian ternyata masyarakat Muslim bulumlah dapat  meninggalkan kebiasaan mereka meminum minuman keras. Di samping itu memang belum ada larangan tegas tentang keharaman meminumnya.
4.      Tahap Keempat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴿۹۰﴾ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ﴿۹۱﴾

“(90)Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (91) Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS.Al-Maidah 90-91)

Ayat di atas merupakan akhir dari tahap pengharaman khamar. Setelah ayat tersebut turun khamar menjadi haram. Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa sampai-sampai sebagaian umat Muslim mengatakan bahwa Allah Swt tidak pernah mengharamkan sesuatu yang sangat dahsyat kecuali khamar.[5]
Abu Maisarah berkata, “Ayat ini turun sebab Umar bin Khatab. Sesungguhnya ia menyampaikan kepada Nabi Saw kelemahan-kelemahan khamar dan pengaruhnya terhadap manusia, maka ia pun berdo’a kepada Allah Swt agar khamar diharamkan seraya berkata, “Ya Allah jelaskan kepada kami mengenai hukum khamar dengan penjelasan yang memuaskan” maka turunlah ayat-ayat tersebut. Kemudian umar berkata, “kami menyudahinya, kami menyudahinya.”[6]
Salah satu hikmah yang dapat kita ambil dari tahapan-tahapan pengharaman khamar ialah hal ini membuktikan bahwa Islam bukanlah Agama yang memberatkan umatnya. Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang besar diperlukan tahapan yang tidak sebentar. Ini juga menunjukan bahwa untuk membiasakan suatu hal yang baru haruslah dimulai dari tahap yang paling mudah tidak langsung kepada tahap yang sulit.



[1]Ibnu Hajar Al-Asqalani, fathul bari Juz 33, alih bahasa Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 21.
[2]A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul (studi Pendalaman Alquran), Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2002, h. 94.
[3]Ibid., h. 343.
[4]Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Juz 6, alih bahasa Ahmad Rijali Kadir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 474.
[5]Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Juz 5, alih bahasa Ahmad Rijali Kadir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 683.
[6]Ibid.

7 komentar:

  1. Tulisan yang bagus, jelas dan bermanfat..

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah...bisa jadi referensi

    BalasHapus
  3. Alhamdulilah! Berguna banget .syukron

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah sangat bermanfaat

    BalasHapus
  5. Lanjutkan berkarya insyaallah manfaat...
    Izin comot gan untuk kajian anak anak mahasiswa.
    Semoga Allah berikan pahala berlipat

    BalasHapus
  6. Subhanallah, mantab gus, jelas sanadnya dan penjelasannya, mirip yang dijelaskan kiyai saya dipondok
    terus berkarya gus
    semga barokah

    BalasHapus