Pages

Senin, 13 Oktober 2014

Hukum Mematikan Hp Sebelum Shalat

A.    Pandangan Islam Terhadapa HP
Telepon seluler (ponsel) atau handphone (Hp) adalah perangkat telemonikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telepon konvensional saluran tetap, namun dapat dibawa keman-mana (portabel, mobile) dan tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan kabel.[1] Hp sebagai media telekomunikasi yang mudah dibawa kemana-mana tentu keberadaannya di tengah-tengah kehidupan merupakan sesuatu yang sangat membantu manusia dalam melakukan aktifitasnya. Namun sisi lain keberadaan Hp di tengah-tengah kehidupan juga dapat menimbulkan hal yang negatif. Hp akan bermanfaat dan membantu jika digunakan oleh orang yang tepat. Tapi jika Hp digunakan oleh orang yang memiliki niat jahat tentu akan digunakan untuk melakukan kejahatan seperti penipuan, perselingkuhan, dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan hal ini, Islam sebagai agama yang membawa syariat Allah tentu memliki sudut pandang tersendiri dalam hukum penggunaannya.Sebab dalam Islam segala sesuatu itu tidak akan lepas dari lima hukum taklifi, yakni Wajib, Haram, Makruh, Sunah, dan Mubah.[2] Sebagai contohnya adalah kewajiban seorang melakukan salat lima waktu, haramnya seseorang memakan daging babi, makruhnya seseorang melambatkan berbuka puasa, sunahnya seseorang melakukan salat 2 rakaat sebelum salat zuhur dan mubahnya seorang berdiri atau berjalan. Semua aspek kehidupan dalam pandangan syariat Islam tidak pernah lepas dari kelima hukum taklifi.
Perkara HP ini, bila dicari dalam Alquran yang terdiri dari beribu-ribu ayat atau hadis-hadis Rasulullah Saw tentu tidak akan menemukan hukum menggunakannya, sebab pada masa ayat Alquran turun belum ada teknologi seperti HP. Untuk itulah ulama-ulama yang mempunyai kapasitas Mujtahid, mereka membuat kaidah-kaidah yang digunakan sebagai pijakan untuk menentukan sesuatu yang permasalahannya tidak ada dalam nas Alquran maupun Hadis.  Kaidah-kaidah tersebut tentu saja kaidah yang bersandarkan kepada nas Alquran maupun Hadis. Mengenai penggunaan HP ini, menurut  penulis ada sebuah kaidah yang sangat tepat untuk dijadikan pijakan, yakni kaidah yang digunakan oleh Imam Syafi’i yang berbunyi;
الأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya: “Hukum dasar segala sesuatu itu dibolehkan sampai ada dalil yang menunjukan keharaman.”[3]
Berdasarkan kaidah ushul yang digunakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah mengenai suatu asal perbuatan dalam bidang muamalah adalah boleh, maka hukum asal menggunkan HP menurut kacamata Islam adalah mubah. Sebab dilihat dari definisi mubah yakni sesuatu perbuatan yang tidak dituntut untuk mengerjakan dan tidak pula dituntut untuk meninggalkannya.[4] Artinya apabila seorang melakukan perbuatan, orang tersebut tidak mendapat pahala dan apabila perbuatan tersebut ditinggalkan ia tidak mendapat dosa. Orang yang menggunakan HP pada dasarnya memang tidak mendapat pahala dan demikian pula orang yang tidak menggunakannya tidak akan mendapat dosa. Namun perlu penulis tekankan bahwa walaupun penggunaan HP ini mubah, jika digunakan untuk tindak kejahatan tentu saja tidak dibenarkan dalam syariat Islam.
Selain kaidah di atas, Allah Swt menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini tentu bukan untuk disia-siakan. Allah menjadikan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini agar dapat dimanfaatkan oleh manusia. Allah berfirman dalam surah al-Jaatsiyah ayat 13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Al-Jaatsiyah : 13)

Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk mengelola alam ini dengan sebaik mungkin untuk kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip–prinsip dasar ajaran Islam, manusia bebas melakukan apa saja yang dapat merealisasikan kemashlahatan hidupnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.
B.     Hukum Mematikan HP Sebelum Salat
Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada pembahasan yang telah lalu bahwa pada dasarnya penggunaan HP adalah mubah, yakni seorang yang menggunakan atau yang tidak menggunakannya tidak mendapat pahala ataupun dosa. Oleh karena itu, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip–prinsip dasar ajaran Islam, manusia bebas menggunakan HP untuk apa saja demi merealisasikan kemashlahatan hidupnya. Namun jika penggunaan HP dimaksudkan untuk mengganggu orang lain tentu tidak diperbolehkan, terlebih lagi ketika dalam keadaan beribadah seperti salat.
Sebelum lebih lanjut bebicara mengenai hukum mematikan HP sebelum salat ini, penulis akan coba memaparkan dampak positif dari mematikan HP sebelum salat. Menurut penulis mematikan HP sebelum salat setidaknya memilki dua dampak positif.
1.      Dampak positif bagi pribadi 
Yang dimaksud dengan dampak positif bagi pribadi adalah dengan mematikan HP, seseorang dapat memudahkan dirinya untuk salat dengan khusuk. Sebagai contoh seorang yang salat dengan menghidupkan HP, kemudian HP tersebut berbunyi ataupun hanya bergetar saja pasti ia akan penasaran dari siapa panggilan tersebut. Tentu saja hal itu akan mempengaruhi kekhusukan dalam salat. Padahal khusuk merupakan sesuatu yang sanagat didamba-dambakan dalam hal shalat. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Mu’minun;
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya,” (Qs. Al-Mu’minun ayat 1-2)
Ayat di atas memberikan satu indikasi bahwa orang yang mau berusaha dan dapat khusyuk dalam melakukan salat merupakan orang yang beruntung. Begitu pula sebaliknya, orang yang tidak mau berusaha agar shalatnya khusyuk merupakan orang yang rugi. Bila kita perhatiakan, Hp yang tidak dimatikan sebelum salat tentu berpotensi untuk mengantarkan kepada tidak khusyuknya seseorang dalam salat.
2.      Dampak positif bagi orang lain
 Yang dimaksud dengan dampak positif bagi orang lain adalah dengan mematikan HP, orang lain disekitar kita tidak akan merasa terganggu dengan HP  yang kita bawa. Sebab jika Hp yang kita bawa berbunyi tentu sangat berpotensi mengganggu kekhusukkan orang lain dan dapat menyakiti perasaannya. Apabila seorang sengaja menghidupkan HP dengan tujuan agar orang lain tidak khusyuk dan merasa terganngu maka hal tersebut dilarang oleh syariat agama. Dalam hal ini ada beberapa hadis yang berkaitan dengan larangan menggangu orang lain;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
dari Abdullah bin 'Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah " (H. R. Bukhari).[5]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan masuk surga, orang yang mana tetangganya tidak aman dari bahayanya."[6]
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim membuat kaget sesama saudaranya yang muslim.”[7]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh membahayakan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya”.[8]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berimana kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya”[9]
Beberapa hadis di atas memang tidak secara spesifik melarang seorang untuk tidak mematikan Hp sebelum salat. Namun demikian beberapa hadis di atas secara umum menjelaskan bahwa mengganggu seseorang itu merupakan suatu perbuatan yang menyalahi syariat Islam. Pada hadis pertama diterangkan bahwa seorang yang benar-benar Muslim, ia pasti tidak akan mengganggu Muslim lainnya dalam kondisi apapun dan dengan cara apapun, baik mengganggu itu dengan lisan misalnya mencaci atau dengan tangan misalnya memukul. Maka dalam penggunaan HP pun demikian, seorang yang menggunakan HP tidak boleh ditujukan untuk mengganggu orang lain dalam situasi dan kondisi apapun, terlebih lagi untuk mengganggu orang lain ketika sedang salat.
Apabila dicermati dari dua dampak positif di atas, hukum mematikan HP sebelum salat ini sangat ada kaitannya dengan kedudukan khusuk dalam salat dan juga bagaimana hak seorang muslim untuk tidak mendapat gangguan dalam beribadah.
1.      Kedudukan Khusuk Dalam Salat
Jika khusuk dalam salat merupakan salah satu syarat sahnya salat, maka hukum mematikan HP sebelum salat adalah wajib. Sebagaimana dalam sebuah kaidah fikih disebutkan
اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَا حَرِيْمٌ لَهُ
Artinya: “Sesuatu untuk menjaga sesuatu itu hukumnya sama dengan yang dijaga[10]
            Dari kaidah di atas dapat dipahami jika khusyuk dalam salat merupakan salah satu syarat sahnya salat, maka hukum mematikan HP sebelum salat adalah wajib. Sebab bila seorang tidak khusuk maka salatnya tidak sah. Dan dapat dikatakan bahwa yang menyebabkan seorang tidak khusuk adalah HP yang berbunyi. Namun sebaliknya jika khusuk dalam salat bukanlah suatu syarat sahnya salat maka hukum mematikan HP sebelum salat bukanlah suatu kewajiban.
Dalam kitab Taudiihul Adillah ada seorang bertanya kepada K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami ghafarallaahulah, bahwa dirinya saat mengerjakan salat hatinya kemana-mana tidak menuju ingatan kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Sah atau tidakkah salat saya itu.?
Beliau menjawab bahwa salat itu ada faridhah-nya dan ada pula fadhilah-nya. Faridhah yang dimaksudkan adalah menyempurnakan syarat dan rukun salat, sehingga dengan melaksanakan faridhah, maka tercapailah sahnya salat. Artinya seorang telah dianggap menunaikan salat dan tidak perlu mengulang salatnya lagi, karena sudah gugur tuntutan kewajibannya. Adapun fadhilah-nya salat adalah melaksanakan shalat dengan khusyuk dan khudhu'.
Dengan faridhah dapat dihasilkan salat yang sah. Tetapi dengan fadhilah dapat dihasilkan falah atau keberuntungan dari salat. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Mu’minun ayat 1 - 2  yang artinya; 
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya”.
Seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun salat atau dikatakan faridhah-nya sudah terpenuhi, menurut ulama fiqih telah sah salatnnya walaupun tidak khusyuk atau fadhilah-nya tidak terpenuhi. Akan tetapi salat tanpa khusyuk adalah suatu yang kosong dan akan membawa pada kerugian dan kekecewaan.[11]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa khusyuk dalam salat bukanlah merupakan syarat sahnya salat. Namun, walaupun bukan termasuk syarat sahnya salat tetap saja khusyuk merupakan hal yang sangat penting dalam salat. Hal itu digambarkan dalam surah Al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang menjelaskan bahwa sungguh beruntung orang yang salat dalam keadaan khusyuk.

2.      Hak seorang muslim untuk tidak mendapat gangguan dalam beribadah
Jika hanya berpatokan pada kedudukan khusyuk dalam shalat, maka akan dapat dipahami bahwa mematikan Hp sebelum salat bukanlah merupakan suatu kewajiban. Namun perlu diketahui bahwa kita tidak hanya berbicara mengenai kedudukan khusyuk dalam salat saja, ada hal lain yang harus mendapat perhatian lebih yakni hak seorang Muslim untuk tidak mendapat gangguan ketika beribadah.
Seorang Muslim mempunyai hak khusus dalam beribadah, yani hak tidak mendapatkan gangguan. Ada beberapa hadis yang menunjukan hal tersebut di antaranya adalah;
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
Artinya; dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang lewat di hadapannya, dan hendaklah dia menghalanginya semampunya. Jika dia menolak maka hendaklah dia memeranginya, karena dia adalah setan."[12]
Selain hadis di atas ada pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid. Beliau mendengar orang-orang mengeraskan bacaannya. Beliau menyikap tirai lalu bersabda, “Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah).[13]
Dua hadis di atas dapat dipahami bahwa seorang yang  melakukan ibadah khususnya salat tidak boleh mendapat gangguan. dan jika kita cermati dari kedua hadis di atas seorang yang dengan sengaja menggangu orang yang sedang salat hukumnya adalah haram. Sebab Rasulullah secara tegas melarang mengganggu orang yang sedang salat. Dan dalam kaidah ushul asal dari larangan adalah menunjukan keharaman sampai ada qarinah yang menunjukan bahwa larangan tersebut tidak sampai menunjukan keharaman.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis kemukakan, mengenai kedudukan khusyuk dalam salat serta bagaimana hak seorang muslim untuk tidak mendapat gangguan dalam beribadah,  dapat penulis pahami bahwa hukum mematikan HP sebelum salat ditafsil menjadi 2.
1.      Sunah ketika shalat sendirian tanpa berjama’ah. Sebab dengan mematikan HP sebelum salat, hal tersebut dapat membantu seseorang untuk mendapatkan fadhilah salat yakni khusyuk. selain itu alasana mengapa penulis menetapkan bahwa mematikan HP sebelum salat ketika sendirian adalah sunah, sebab seandainya HP tersebut berbunyi, walaupun hal tersebut dapat menyebabkan hilangkanya fadhilah salat yakni khusyuk, namun tidak sampai membatalkan salat.
2.      Wajib mematikannya ketika shalat berjama’ah. Sebab jika hp tersebut tidak dimatikan maka akan ada pihak lain yang merasa terganggu. Telah penulis paparkan di atas bahwa haram hukumnya mengganggu, menyakiti Muslim lainya dengan cara apapun. Oleh sebab itu penulis menghimbau kepada segenap pengguna Hp agar kiranya memperhatikan Hp-nya sebelum salat berjama’ah apakah sudah mati atau belum. Hal ini  jika kita niatkan agar orang lain merasakan kenyamanan dalam beribadah tentu akan mendapatkan pahala dari Allah Swt
Wallahu’alam.


[1]Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Telepon_Genggam  diakses tanggal 03-12-2013 pukul 06:39
[2]Ahmad Sarwat, Seri fiqih Kehidupan,  Jaksel: Rumah Fiqih Publishing, cet I, 2002, h. 147.
[3]Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, cet I 2002, h. 135.
[4]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Jakarta: Kencana, 2010, h. 43.
[5]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, alih bahasa Gazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, h. 89-90.  
[6]Hr Muslim no 66
[7]Hr Abu Daud 4351
[8]Musnad Imam Ahmad no 2719.
[9]HR Bukhari no 5559.
[10]Imam Musbikin, Qawaid Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGravindo Persada, 2001, h. 129.
[12]An-Nawawi, Shahih Muslim Bisyahri Nawawi, Juz III-IV, Lebanon, Dar Al-Kutub, h. 187.

0 komentar:

Posting Komentar