A.
Pandangan Islam Terhadapa HP
Telepon seluler
(ponsel) atau handphone (Hp) adalah perangkat telemonikasi elektronik
yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telepon konvensional saluran
tetap, namun dapat dibawa keman-mana (portabel, mobile) dan tidak perlu
disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan kabel.[1]
Hp sebagai media telekomunikasi yang mudah dibawa kemana-mana tentu
keberadaannya di tengah-tengah kehidupan merupakan sesuatu yang sangat membantu
manusia dalam melakukan aktifitasnya. Namun sisi lain keberadaan Hp di
tengah-tengah kehidupan juga dapat menimbulkan hal yang negatif. Hp akan
bermanfaat dan membantu jika digunakan oleh orang yang tepat. Tapi jika Hp
digunakan oleh orang yang memiliki niat jahat tentu akan digunakan untuk melakukan
kejahatan seperti penipuan, perselingkuhan, dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan hal ini, Islam sebagai
agama yang membawa syariat Allah tentu memliki sudut pandang tersendiri dalam
hukum penggunaannya.Sebab dalam Islam
segala sesuatu itu tidak akan lepas dari lima hukum taklifi, yakni
Wajib, Haram, Makruh, Sunah, dan Mubah.[2]
Sebagai contohnya adalah kewajiban seorang melakukan salat lima waktu, haramnya
seseorang memakan daging babi, makruhnya seseorang melambatkan berbuka puasa,
sunahnya seseorang melakukan salat 2 rakaat sebelum salat zuhur dan mubahnya
seorang berdiri atau berjalan. Semua aspek kehidupan dalam pandangan syariat
Islam tidak pernah lepas dari kelima hukum taklifi.
Perkara HP ini, bila dicari dalam Alquran yang terdiri
dari beribu-ribu ayat atau hadis-hadis Rasulullah Saw tentu tidak akan
menemukan hukum menggunakannya, sebab pada masa ayat Alquran turun belum ada
teknologi seperti HP. Untuk itulah ulama-ulama yang mempunyai kapasitas
Mujtahid, mereka membuat kaidah-kaidah yang digunakan sebagai pijakan untuk
menentukan sesuatu yang permasalahannya tidak ada dalam nas Alquran maupun
Hadis. Kaidah-kaidah tersebut tentu saja
kaidah yang bersandarkan kepada nas Alquran maupun Hadis. Mengenai penggunaan
HP ini, menurut penulis ada sebuah
kaidah yang sangat tepat untuk dijadikan pijakan, yakni kaidah yang digunakan
oleh Imam Syafi’i yang berbunyi;
الأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ
الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya: “Hukum dasar segala sesuatu itu dibolehkan
sampai ada dalil yang menunjukan keharaman.”[3]
Berdasarkan kaidah ushul yang digunakan oleh Imam
Syafi’i rahimahullah mengenai suatu asal perbuatan dalam bidang muamalah
adalah boleh, maka hukum asal menggunkan HP menurut kacamata Islam adalah
mubah. Sebab dilihat dari definisi mubah yakni sesuatu perbuatan yang tidak
dituntut untuk mengerjakan dan tidak pula dituntut untuk meninggalkannya.[4]
Artinya apabila seorang melakukan perbuatan, orang tersebut tidak mendapat
pahala dan apabila perbuatan tersebut ditinggalkan ia tidak mendapat dosa.
Orang yang menggunakan HP pada dasarnya memang tidak mendapat pahala dan
demikian pula orang yang tidak menggunakannya tidak akan mendapat dosa. Namun
perlu penulis tekankan bahwa walaupun penggunaan HP ini mubah, jika digunakan
untuk tindak kejahatan tentu saja tidak dibenarkan dalam syariat Islam.
Selain kaidah di atas, Allah Swt menciptakan segala
sesuatu di muka bumi ini tentu bukan untuk disia-siakan. Allah menjadikan
segala sesuatu yang ada di muka bumi ini agar dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Allah berfirman dalam surah al-Jaatsiyah ayat 13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ
لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berpikir”. (Q.S. Al-Jaatsiyah
: 13)
Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam sebagai agama rahmatan
lil’alamin memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk mengelola alam
ini dengan sebaik mungkin untuk kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, selama
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip–prinsip dasar ajaran Islam,
manusia bebas melakukan apa saja yang dapat merealisasikan kemashlahatan
hidupnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.
B.
Hukum Mematikan HP Sebelum Salat
Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada pembahasan
yang telah lalu bahwa pada dasarnya penggunaan HP adalah mubah, yakni seorang
yang menggunakan atau yang tidak menggunakannya tidak mendapat pahala ataupun
dosa. Oleh karena itu, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan
prinsip–prinsip dasar ajaran Islam, manusia bebas menggunakan HP untuk apa saja
demi merealisasikan kemashlahatan hidupnya. Namun jika penggunaan HP
dimaksudkan untuk mengganggu orang lain tentu tidak diperbolehkan, terlebih lagi
ketika dalam keadaan beribadah seperti salat.
Sebelum lebih lanjut bebicara mengenai hukum mematikan HP
sebelum salat ini, penulis akan coba memaparkan dampak positif dari mematikan
HP sebelum salat. Menurut penulis mematikan HP sebelum salat setidaknya memilki
dua dampak positif.
1.
Dampak positif bagi pribadi
Yang dimaksud dengan dampak positif bagi pribadi adalah
dengan mematikan HP, seseorang dapat memudahkan dirinya untuk salat dengan
khusuk. Sebagai contoh seorang yang salat dengan menghidupkan HP, kemudian HP
tersebut berbunyi ataupun hanya bergetar saja pasti ia akan penasaran dari
siapa panggilan tersebut. Tentu saja hal itu akan mempengaruhi kekhusukan dalam
salat. Padahal khusuk merupakan sesuatu yang sanagat didamba-dambakan dalam hal
shalat. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Mu’minun;
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya,” (Qs. Al-Mu’minun ayat 1-2)
Ayat di atas memberikan satu indikasi bahwa orang yang mau berusaha dan dapat
khusyuk dalam melakukan salat merupakan orang yang beruntung. Begitu pula
sebaliknya, orang yang tidak mau berusaha agar shalatnya khusyuk merupakan
orang yang rugi. Bila kita perhatiakan, Hp yang tidak dimatikan sebelum salat tentu
berpotensi untuk mengantarkan kepada tidak khusyuknya seseorang dalam salat.
2.
Dampak positif bagi orang lain
Yang dimaksud dengan dampak positif
bagi orang lain adalah dengan mematikan HP, orang lain disekitar kita tidak
akan merasa terganggu dengan HP yang
kita bawa. Sebab jika Hp yang kita bawa berbunyi tentu sangat berpotensi
mengganggu kekhusukkan orang lain dan dapat menyakiti perasaannya. Apabila
seorang sengaja menghidupkan HP dengan tujuan agar orang lain tidak khusyuk dan
merasa terganngu maka hal tersebut dilarang oleh syariat agama. Dalam hal ini
ada beberapa hadis yang berkaitan dengan larangan menggangu orang lain;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
dari Abdullah bin 'Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda:
"Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan
tangannya, dan seorang Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang
oleh Allah " (H. R. Bukhari).[5]
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak akan masuk surga, orang yang mana tetangganya
tidak aman dari bahayanya."[6]
فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ
مُسْلِمًا
Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak
halal bagi seorang muslim membuat kaget sesama saudaranya yang muslim.”[7]
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak boleh membahayakan (orang lain) dan tidak boleh
membalas bahaya dengan bahaya”.[8]
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
Artinya: “Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Barangsiapa berimana kepada Allah dan hari Akhir,
janganlah ia mengganggu tetangganya”[9]
Beberapa hadis di atas memang tidak secara
spesifik melarang seorang untuk tidak mematikan Hp sebelum salat. Namun
demikian beberapa hadis di atas secara umum menjelaskan bahwa mengganggu
seseorang itu merupakan suatu perbuatan yang menyalahi syariat Islam. Pada
hadis pertama diterangkan bahwa seorang yang benar-benar Muslim, ia pasti tidak
akan mengganggu Muslim lainnya dalam kondisi apapun dan dengan cara apapun,
baik mengganggu itu dengan lisan misalnya mencaci atau dengan tangan misalnya
memukul. Maka dalam penggunaan HP pun demikian, seorang yang menggunakan HP
tidak boleh ditujukan untuk mengganggu orang lain dalam situasi dan kondisi
apapun, terlebih lagi untuk mengganggu orang lain ketika sedang salat.
Apabila dicermati dari dua dampak positif di
atas, hukum mematikan HP sebelum salat ini sangat ada kaitannya dengan
kedudukan khusuk dalam salat dan juga bagaimana hak seorang muslim untuk tidak
mendapat gangguan dalam beribadah.
1. Kedudukan Khusuk Dalam Salat
Jika khusuk dalam salat merupakan salah satu syarat
sahnya salat, maka hukum mematikan HP sebelum salat adalah wajib. Sebagaimana
dalam sebuah kaidah fikih disebutkan
اَلْحَرِيْمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَا حَرِيْمٌ لَهُ
Artinya: “Sesuatu untuk menjaga
sesuatu itu hukumnya sama dengan yang dijaga”[10]
Dari
kaidah di atas dapat dipahami jika khusyuk dalam salat merupakan salah satu syarat sahnya
salat, maka hukum mematikan HP sebelum salat adalah wajib. Sebab bila seorang
tidak khusuk maka salatnya tidak sah. Dan dapat dikatakan bahwa yang
menyebabkan seorang tidak khusuk adalah HP yang berbunyi. Namun sebaliknya jika
khusuk dalam salat bukanlah suatu syarat sahnya salat maka hukum mematikan HP
sebelum salat bukanlah suatu kewajiban.
Dalam kitab Taudiihul Adillah ada
seorang bertanya kepada K.H. Muhammad Syafi’i Hadzami ghafarallaahulah, bahwa
dirinya saat mengerjakan salat hatinya kemana-mana tidak menuju ingatan kepada
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Sah atau tidakkah salat saya itu.?
Beliau
menjawab bahwa salat itu ada faridhah-nya dan ada
pula fadhilah-nya. Faridhah yang dimaksudkan
adalah menyempurnakan syarat dan rukun salat, sehingga dengan
melaksanakan faridhah, maka tercapailah sahnya salat. Artinya seorang
telah dianggap menunaikan salat dan tidak perlu mengulang salatnya lagi, karena sudah gugur tuntutan
kewajibannya. Adapun fadhilah-nya salat adalah melaksanakan shalat
dengan khusyuk
dan khudhu'.
Dengan faridhah dapat dihasilkan salat yang sah.
Tetapi dengan fadhilah dapat dihasilkan falah atau keberuntungan
dari salat. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Mu’minun ayat 1 - 2 yang artinya;
“Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya”.
Seseorang yang telah
memenuhi syarat dan rukun salat atau dikatakan faridhah-nya sudah
terpenuhi, menurut ulama fiqih telah sah salatnnya walaupun tidak
khusyuk atau fadhilah-nya tidak terpenuhi. Akan tetapi salat tanpa
khusyuk adalah suatu yang kosong dan akan membawa pada kerugian dan kekecewaan.[11]
Dari penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa khusyuk dalam salat bukanlah merupakan syarat sahnya
salat. Namun, walaupun bukan termasuk syarat sahnya salat tetap saja khusyuk
merupakan hal yang sangat penting dalam salat. Hal itu digambarkan dalam surah
Al-Mu’minun ayat 1 dan 2 yang menjelaskan bahwa sungguh beruntung orang yang
salat dalam keadaan khusyuk.
2.
Hak seorang muslim untuk tidak mendapat gangguan dalam
beribadah
Jika hanya berpatokan pada kedudukan khusyuk dalam shalat, maka akan dapat
dipahami bahwa mematikan Hp sebelum salat bukanlah merupakan suatu kewajiban.
Namun perlu diketahui bahwa kita tidak hanya berbicara mengenai kedudukan
khusyuk dalam salat saja, ada hal lain yang harus mendapat perhatian lebih
yakni hak seorang Muslim untuk tidak mendapat gangguan ketika beribadah.
Seorang Muslim mempunyai hak khusus dalam beribadah, yani
hak tidak mendapatkan gangguan. Ada beberapa hadis yang menunjukan hal tersebut
di antaranya adalah;
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ
يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا
هُوَ شَيْطَانٌ
Artinya; “dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa
Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila salah seorang
dari kalian shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang lewat di
hadapannya, dan hendaklah dia menghalanginya semampunya. Jika dia menolak maka
hendaklah dia memeranginya, karena dia adalah setan."[12]
Selain hadis di atas ada pula hadis yang
diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah
saw. beri’tikaf di masjid. Beliau mendengar orang-orang mengeraskan bacaannya.
Beliau menyikap tirai lalu bersabda, “Ketahuilah, kalian semua sedang
bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain.
Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca,’ atau beliau berkata, ‘Dalam
shalat’,” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Khuzaimah).[13]
Dua hadis di atas dapat dipahami bahwa seorang
yang melakukan ibadah khususnya salat
tidak boleh mendapat gangguan. dan jika kita cermati dari kedua hadis di atas
seorang yang dengan sengaja menggangu orang yang sedang salat hukumnya adalah
haram. Sebab Rasulullah secara tegas melarang mengganggu orang yang sedang
salat. Dan dalam kaidah ushul asal dari larangan adalah menunjukan
keharaman sampai ada qarinah yang menunjukan bahwa larangan tersebut
tidak sampai menunjukan keharaman.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis kemukakan, mengenai
kedudukan khusyuk dalam salat serta bagaimana hak seorang muslim untuk tidak
mendapat gangguan dalam beribadah, dapat
penulis pahami bahwa hukum mematikan HP sebelum salat ditafsil menjadi 2.
1. Sunah ketika shalat sendirian tanpa
berjama’ah. Sebab dengan mematikan HP sebelum salat, hal tersebut dapat
membantu seseorang untuk mendapatkan fadhilah salat yakni khusyuk.
selain itu alasana mengapa penulis menetapkan bahwa mematikan HP sebelum salat ketika
sendirian adalah sunah, sebab seandainya HP tersebut berbunyi, walaupun hal
tersebut dapat menyebabkan hilangkanya fadhilah salat yakni khusyuk,
namun tidak sampai membatalkan salat.
2. Wajib mematikannya ketika shalat berjama’ah.
Sebab jika hp tersebut tidak dimatikan maka akan ada pihak lain yang merasa
terganggu. Telah penulis paparkan di atas bahwa haram hukumnya mengganggu,
menyakiti Muslim lainya dengan cara apapun. Oleh sebab itu penulis menghimbau
kepada segenap pengguna Hp agar kiranya memperhatikan Hp-nya sebelum salat
berjama’ah apakah sudah mati atau belum. Hal ini jika kita niatkan agar orang lain merasakan
kenyamanan dalam beribadah tentu akan mendapatkan pahala dari Allah Swt
Wallahu’alam.
[5]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, alih bahasa Gazirah Abdi
Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, h. 89-90.
[9]HR Bukhari no 5559.
[11]Http://Tabligh-Shalat.Blogspot.Com/2011/01/Hukum-Shalat-Yang-Khusyu.Html diakses tanggal 03-12-2013 pukul
20:19.
[12]An-Nawawi, Shahih Muslim Bisyahri Nawawi, Juz III-IV, Lebanon, Dar
Al-Kutub, h. 187.
[13]Http://Didikturmudi.Wordpress.Com/2010/02/13/Larangan-Mengganggu-Orang-Shalat/ diakses tanggal 03-12-2013 pukul 21:10.
0 komentar:
Posting Komentar