Dalam kamus bahasa Indonesia bertamu diartikan sebagai berkunjung ke rumah
tetangga. Bertamu sendiri adalah hal yang sudah lazim di kehidupan
bermasyarakat. Namun, dalam agama Islam, bertamu baik kepada tetangga ataupun kepada sanak
keluarga bukanlah hanya sekedar suatu kelaziman atau kebiasaan, melainkan
termasuk perkara yang dianjurkan.
Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ
لَهُ فِيْ رِزْقِهِ وَيُنْسَأَلَهُ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ(متفق عليه)
"Barangsiapa yang ingin supaya diluaskan rezekinya dan
diakhirkan ajalnya, maka hendaklah mempereratkan ikatan kekeluargaannya." (Muttafaq 'alaih)[1]
Bertamu merupakan salah satu cara untuk mempererat tali
persaudaraan sesama Muslim. Adapun tata cara atau adab bertamu telah Allah ajarkan melalui
firman-Nya surah An-Nur ayat 27-29.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى
تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ ﴿۲٧﴾ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا
فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ
ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ﴿۲۸﴾ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ
مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ﴿۲۹﴾
Artinya
: 27. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu (selalu) ingat. 28. Jika kamu tidak
menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat
izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu
kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.29. Tidak ada dosa atasmu
memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada
keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu
sembunyikan.[2]
1.
Asbabun Nuzul dan Munasabah ayat
a.
Asbabun Nuzul ayat
Pada suatu waktu seorang wanita Anshar datang mengadu kepada Rasululah Saw
“Wahai Rasulullah, apa bila aku berada di rumahku dalam keadaan seorang diri,
tidak ingin dilihat orang lain, tetapi selalu saja ada lelaki dari familiku
masuk ke dalam rumah. Apakah yang harus aku lakukan ?”. sehubungan dengan itu,
maka Allah Swt menurunkan ayat ke-27 dan 28 yang melarang kaum muslimin
memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin kepada pemiliknya dan
mengucapkan salam.[3]
Ketika turun ayat ke-27 yang memerintahkan meminta izin manakala hendak
memasuki rumah orang, maka Abu Bakar berkata “Wahai Rasulullah, bagaimana
pedagang-pedagang Quraisy yang hilir mudik ke Madinah dan Syam yang mereka
mempunyai rumah-rumah tertentu di jalan?”. Sehubungan dengan itu maka Allah Swt
menjawab dengan ayat ke-29 yang membolehkan kaum muslimin memasuki rumah yang
disediakan bukan untuk tempat tinggal karena keperluan tertentu.[4]
b.
Munasabah ayat
Imam Ash-Shabuni menerangkan dalam tafsirnaya bahwa surah An-Nur ayat 26-29
ini mempunyai hubungan dengan ayat-ayat terdahulu. Ayat ayat yang terdahulu
pada permulaan surah menerangkan masalah hukum zina, bahayanya, kekejiannya dan
diterangkan juga bahwa pelakunya akan diazab di akhirat kelak.
Dan oleh karena zina itu bermula dari pandangan, bersunyi-sunyi dengan
perempuan yang bukan mahramnya, dan terbukanya aurat. Dan pula memasuki rumah
orang lain itu dapat menimbulkan kecurugaan, oleh karena itu Allah Swt memberikan
bimbingan kepada hamba-Nya cara yang bijaksana yang harus diikuti ketika hendak
masuk rumah orang lain sehingga dapat dihindari
timbulnya keburukan yang berbahaya itu yang gilirannya dapat merusak
keluarga, masyarakat dan tersebarnya kekejian di kalangan manusia.[5]
Ayat-ayat terdahulu juga berbicara tentang peristiwa fitnah. Di mana umul
mukminin Aisyah r.a dituduh berbuat zina padahal ia seorang yang terpelihara
kehormatannya dan suci. Sehingga Allah Swt membantah tuduhan yang diberikan
kepadanya dengan menurunkan wahyu. Timbulnya tuduhan itu tiada lain karena
faktor kesendirian dengan shafwan (dalam satu kendaraan), oleh karena itu Allah
Swt melarang masuk rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya agar tidak menodai
kehormatan perempuan-perempuan yang bersih dan suci, dan pula agar masyarakat
selamat dari keburukan yang berbahaya itu.[6]
2.
Penjelasan ayat dengan hadis terkait
Menurut Imam Ash-Shabuni zahirnya pada ayat di atas menunjukan bahwa
pengunjung harus mendahulukan izin baru kemudian mengucap salam. Demikian
menurut sebagian pendapat ulama. Sedangkan sebagian besar ahli fikih berpendapat
salam lebih dahulu baru meminta izin. Dalam hal ini Imam Nawawi berkata “yang
benar yang dipilih yaitu mendahulukan salam daripada meminta izin”.[7]
Diriwayatkan bahwa Umar r.a pernah meminta izin kepada Rasululah Saw untuk
masuk rumahnya, lalu beliau berucap:
السلام على رسول الله, السلام عليكم! أيدخل عمر؟
“Semoga kesejahteraan terlimapah atas Rasulillah,
Assalamu’alaikum! Bolehkah Umar masuk?” (R. Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas)[8]
Mengenai ayat ke-27 Syaikh Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam kitab
tafsirnya para ulama berkata “Meminta izin itu tiga kali, sebab jika seseorang
mengatakan suatu perkataan sebanyak tiga kali, maka biasanya perkataan itu akan
dapat didengar dan dapat dipahami”.[9] Beliau juga menerangkan bahwa apa bila ditanya
“ siapa itu?” maka kita tidak boleh menjawab dengan kata “aku”. Imam
Al-Qurthubi mengatakan;
Al-Khatib
menuturkan dalam kitab Jami’-nya dari Ali bin Ashim Al-Washiti, dia
berkata “ Aku datang ke Bashrah, lalu aku mendatangi rumah Syu’bah dan mengetuk
pintu (rumahnya). Dia berkata, “siapa itu?” Aku menjawab, “Aku!, Dia berkata,
“Wahai tuan, Aku tidak punya teman yang bernama aku”. Dia kemudian menemuiku
dan berkata, “Muhammad bin Al-Munkadir menceritakan kepadaku dari Jabir bin
Abdullah, dia berkata”Aku pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw karena
keperluanku, kemudian mengetuk pintu (rumah beliau) Beliau bertanya “siapa
itu?” Aku menjawab “Aku!” Beliau Bersabda “ Aku, aku!” seolah beliau
tidak menyukai perkataan itu,” atau ucapannya itu.[10]
Pada ayat 28 Imam Al-Qurthubi menerangkan bahwa tidak
boleh memasuki rumah yang tidak diberikan izin oleh pemiliknya, sekalipun pintu
rumah tersebut terbuka atau tertutup (tetap saja tidak boleh). Sebab agama
telah menutup pintunya dengan larangan masuk, sampai pintu itu dibuka oleh izin
dari pemiliknya.[11]
Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi
Saw, beliau bersabda;
مَنْ اطَّلَعَ
فِي بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَقَدْ حَلَّ لَهُمْ أَنْ يَفْقَئُوا
عَيْنَهُ
“Barang siapa yang melihat bagian dalam rumah suatu
kaum tanpa izin mereka, maka halallah bagi mereka untuk mencopot matanya”.[12]
Terjadi perbedaan
pendapat mengenai takwil hadis ini. Sebagian ulama berkata “Hadis ini tidak
sesuai dengan zahirnya. Sebab jika seorang mencopot mata orang itu, maka dia
harus membayar denda. Hadis ini pun telah di-nasakh. Hadis ini juga
keluar sebelum turunya firman Allah وَإِنْ عَاقَبْتُمْ
فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ “Dan jika kamu memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. (Q.S.
An-Nahl:26).[13]
Pada ayat ke-29
Imam Al-Qurthubi menerangkan dalam tafsirnya bahwa Allah Swt membolehkan tidak
meminta izin ketika hendak memasuki rumah-rumah yang tidak dihuni oleh
seseorang. Sebab, alasan hukum dibalik pemberlakuan kewajiban meminta izin
masuk adalah adanya kekhawatiran akan melihat hal-hal yang diharamkan.[14]
Mengenai etika
bertamu ini, sebagai tuan rumah Rasulullah Saw mengajarkan untuk memulikan tamu
tersebut. beliau bersabda: “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Dan barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan
tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah berkata yang baik atau kalau
tidak dapat berkata baik, maka hendaklah berdiam” (Muttafaq
'alaih)[15]
Kesimpulan
Pada surah An-Nur ayat 27-29 ini berbicara mengenai etika bertamu. Adapun
hukum, petunjuk dan pelajaran yang dapat kita ambil di antaranya adalah:
a.
Disunahkan
ketika bertamu untuk mendahuluinya dengan salam sebelum meminta izin.
b.
Haram
hukumnya bagi seseorang memandang ke dalam rumah yang bukan rumahnya tanpa
izin.
c.
Tidak
diperbolehkan meminta izin lebih dari tiga kali. Dalam artian jika telah
meminta izin sebanyak 3 kali namun tidak ada jawaban dari pemilik rumah maka
hendaklah pihak yang bertamu menunda keinginginannya.
d.
Jangan
hanya mengatakan “saya” ketika ditanya oleh sipemilik rumah “siapa ini?” sebab
hal tersebut dapat mengakibatkan kebingunan lantaran pemilik rumah tidak
mengetahui secara pasti siapa yang bertamu.
e. Sepantasnya bagi orang yang meminta
izin tidak mengetuk pntu terlalu keras. Karena ini termasuk kurang mempunyai
etika. Diriwayatkan dari
Anas bin Malik, beliau berkata, “Pintu kediaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diketuk dengan menggunakan kuku.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
f. Jika pemilik rumah menyuruh kembali, maka orang yang
meminta izin harus kembali. Namun demikian bukan berarti pemilik rumah memiliki
kebebasan untuk mengusir tamunya. Tetap harus menjaga perasaan yang bertamu.
g. Tidak diperbolehkan memasuki rumah yang di dalamnya tidak
ada seorang pun. Namun hal ini berbeda jika rumah atau tempat kediaman yang
akan dimasuki sudah tidak ada penghuninya atau memang sudah tidak dihuni lagi.
h. Sebagai tuan rumah haruslah memuliakan tamu. Dalam artian
penyajiannya tidak bermaksud untuk
bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh
Rasulullah Saw dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para
tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
[1]Imam
An-Nawawi, Riadhus Shalihin (bab berbakti kepada orang tua dan
mempererat tali keluarga), Al-Harmain.,
2005, h. 162.
[3]Mudjab
Mahali, Asbabun Nuzul: studi pendalaman Al-Quran, cet 1, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 618.
[5]Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003, h. 215.
[9]Imam
Al-Qurtubhi, , Tafsir Al-Qurthubi jilid 12,alih bahasa Ahmad Khotib, cet
1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 547.
[12]Shahih Muslim no 4016, lihat lidwa pusaka
i-software,
[15]Imam
An-Nawawi, Riadhus Shalihin (bab hak tetangga dan berwasiat dengnnya),
h. 160.
artikelnya sangat membantu:)
BalasHapusMohon terangkan pengertian 'tasta'nisu' sebagai "meminta izin"... walhal perkataan tasta'nisu ini tiada makna apa dalam bahasa arob...
BalasHapus