Pages

Selasa, 03 Maret 2015

Etika bertamu Menurt QS. An-Nur ayat 27-29 (Kajian Ayat Ahkam)



Dalam kamus bahasa Indonesia bertamu diartikan sebagai berkunjung ke rumah tetangga. Bertamu sendiri adalah hal yang sudah lazim di kehidupan bermasyarakat. Namun, dalam agama Islam, bertamu baik kepada tetangga ataupun kepada sanak keluarga bukanlah hanya sekedar suatu kelaziman atau kebiasaan, melainkan termasuk perkara yang dianjurkan.
Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ أحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ وَيُنْسَأَلَهُ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ(متفق عليه)
"Barangsiapa yang ingin supaya diluaskan rezekinya dan diakhirkan ajalnya, maka hendaklah mempereratkan ikatan kekeluargaannya." (Muttafaq 'alaih)[1]
Bertamu merupakan salah satu cara untuk mempererat tali persaudaraan sesama Muslim. Adapun tata cara atau adab  bertamu telah Allah ajarkan melalui firman-Nya surah An-Nur ayat 27-29.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿۲٧﴾ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ﴿۲۸﴾ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ﴿۲۹﴾
Artinya :   27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. 28.  Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.29.  Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.[2]
1.      Asbabun Nuzul dan Munasabah ayat
a.       Asbabun Nuzul ayat
Pada suatu waktu seorang wanita Anshar datang mengadu kepada Rasululah Saw “Wahai Rasulullah, apa bila aku berada di rumahku dalam keadaan seorang diri, tidak ingin dilihat orang lain, tetapi selalu saja ada lelaki dari familiku masuk ke dalam rumah. Apakah yang harus aku lakukan ?”. sehubungan dengan itu, maka Allah Swt menurunkan ayat ke-27 dan 28 yang melarang kaum muslimin memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin kepada pemiliknya dan mengucapkan salam.[3]
Ketika turun ayat ke-27 yang memerintahkan meminta izin manakala hendak memasuki rumah orang, maka Abu Bakar berkata “Wahai Rasulullah, bagaimana pedagang-pedagang Quraisy yang hilir mudik ke Madinah dan Syam yang mereka mempunyai rumah-rumah tertentu di jalan?”. Sehubungan dengan itu maka Allah Swt menjawab dengan ayat ke-29 yang membolehkan kaum muslimin memasuki rumah yang disediakan bukan untuk tempat tinggal karena keperluan tertentu.[4]
b.    Munasabah ayat
Imam Ash-Shabuni menerangkan dalam tafsirnaya bahwa surah An-Nur ayat 26-29 ini mempunyai hubungan dengan ayat-ayat terdahulu. Ayat ayat yang terdahulu pada permulaan surah menerangkan masalah hukum zina, bahayanya, kekejiannya dan diterangkan juga bahwa pelakunya akan diazab di akhirat kelak.
Dan oleh karena zina itu bermula dari pandangan, bersunyi-sunyi dengan perempuan yang bukan mahramnya, dan terbukanya aurat. Dan pula memasuki rumah orang lain itu dapat menimbulkan kecurugaan, oleh karena itu Allah Swt memberikan bimbingan kepada hamba-Nya cara yang bijaksana yang harus diikuti ketika hendak masuk rumah orang lain sehingga dapat dihindari  timbulnya keburukan yang berbahaya itu yang gilirannya dapat merusak keluarga, masyarakat dan tersebarnya kekejian di kalangan manusia.[5]
Ayat-ayat terdahulu juga berbicara tentang peristiwa fitnah. Di mana umul mukminin Aisyah r.a dituduh berbuat zina padahal ia seorang yang terpelihara kehormatannya dan suci. Sehingga Allah Swt membantah tuduhan yang diberikan kepadanya dengan menurunkan wahyu. Timbulnya tuduhan itu tiada lain karena faktor kesendirian dengan shafwan (dalam satu kendaraan), oleh karena itu Allah Swt melarang masuk rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya agar tidak menodai kehormatan perempuan-perempuan yang bersih dan suci, dan pula agar masyarakat selamat dari keburukan yang berbahaya itu.[6]
2.      Penjelasan ayat dengan hadis terkait
Menurut Imam Ash-Shabuni zahirnya pada ayat di atas menunjukan bahwa pengunjung harus mendahulukan izin baru kemudian mengucap salam. Demikian menurut sebagian pendapat ulama. Sedangkan sebagian besar ahli fikih berpendapat salam lebih dahulu baru meminta izin. Dalam hal ini Imam Nawawi berkata “yang benar yang dipilih yaitu mendahulukan salam daripada meminta izin”.[7] Diriwayatkan bahwa Umar r.a pernah meminta izin kepada Rasululah Saw untuk masuk rumahnya, lalu beliau berucap:
السلام على رسول الله, السلام عليكم! أيدخل عمر؟
Semoga kesejahteraan terlimapah atas Rasulillah, Assalamu’alaikum! Bolehkah Umar masuk?” (R. Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas)[8]
Mengenai ayat ke-27 Syaikh Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam kitab tafsirnya para ulama berkata “Meminta izin itu tiga kali, sebab jika seseorang mengatakan suatu perkataan sebanyak tiga kali, maka biasanya perkataan itu akan dapat didengar dan dapat dipahami”.[9]  Beliau juga menerangkan bahwa apa bila ditanya “ siapa itu?” maka kita tidak boleh menjawab dengan kata “aku”. Imam Al-Qurthubi mengatakan;
Al-Khatib menuturkan dalam kitab Jami’-nya dari Ali bin Ashim Al-Washiti, dia berkata “ Aku datang ke Bashrah, lalu aku mendatangi rumah Syu’bah dan mengetuk pintu (rumahnya). Dia berkata, “siapa itu?” Aku menjawab, “Aku!, Dia berkata, “Wahai tuan, Aku tidak punya teman yang bernama aku”. Dia kemudian menemuiku dan berkata, “Muhammad bin Al-Munkadir menceritakan kepadaku dari Jabir bin Abdullah, dia berkata”Aku pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw karena keperluanku, kemudian mengetuk pintu (rumah beliau) Beliau bertanya “siapa itu?” Aku menjawab “Aku!” Beliau Bersabda “ Aku, aku!” seolah beliau tidak menyukai perkataan itu,” atau ucapannya itu.[10]

Pada ayat 28 Imam Al-Qurthubi menerangkan bahwa tidak boleh memasuki rumah yang tidak diberikan izin oleh pemiliknya, sekalipun pintu rumah tersebut terbuka atau tertutup (tetap saja tidak boleh). Sebab agama telah menutup pintunya dengan larangan masuk, sampai pintu itu dibuka oleh izin dari pemiliknya.[11] Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda;
مَنْ اطَّلَعَ فِي بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَقَدْ حَلَّ لَهُمْ أَنْ يَفْقَئُوا عَيْنَهُ
Barang siapa yang melihat bagian dalam rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halallah bagi mereka untuk mencopot matanya”.[12]
            Terjadi perbedaan pendapat mengenai takwil hadis ini. Sebagian ulama berkata “Hadis ini tidak sesuai dengan zahirnya. Sebab jika seorang mencopot mata orang itu, maka dia harus membayar denda. Hadis ini pun telah di-nasakh. Hadis ini juga keluar sebelum turunya firman Allah وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. (Q.S. An-Nahl:26).[13]
Pada ayat ke-29 Imam Al-Qurthubi menerangkan dalam tafsirnya bahwa Allah Swt membolehkan tidak meminta izin ketika hendak memasuki rumah-rumah yang tidak dihuni oleh seseorang. Sebab, alasan hukum dibalik pemberlakuan kewajiban meminta izin masuk adalah adanya kekhawatiran akan melihat hal-hal yang diharamkan.[14]
Mengenai etika bertamu ini, sebagai tuan rumah Rasulullah Saw mengajarkan untuk memulikan tamu tersebut. beliau bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau  kalau tidak dapat berkata baik, maka hendaklah berdiam” (Muttafaq 'alaih)[15]


Kesimpulan
Pada surah An-Nur ayat 27-29 ini berbicara mengenai etika bertamu. Adapun hukum, petunjuk dan pelajaran yang dapat kita ambil di antaranya adalah:
a.    Disunahkan ketika bertamu untuk mendahuluinya dengan salam sebelum meminta izin.
b.    Haram hukumnya bagi seseorang memandang ke dalam rumah yang bukan rumahnya tanpa izin.
c.    Tidak diperbolehkan meminta izin lebih dari tiga kali. Dalam artian jika telah meminta izin sebanyak 3 kali namun tidak ada jawaban dari pemilik rumah maka hendaklah pihak yang bertamu menunda keinginginannya.
d.   Jangan hanya mengatakan “saya” ketika ditanya oleh sipemilik rumah “siapa ini?” sebab hal tersebut dapat mengakibatkan kebingunan lantaran pemilik rumah tidak mengetahui secara pasti siapa yang bertamu.
e.    Sepantasnya bagi orang yang meminta izin tidak mengetuk pntu terlalu keras. Karena ini termasuk kurang mempunyai etika. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Pintu kediaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diketuk dengan menggunakan kuku.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
f.     Jika pemilik rumah menyuruh kembali, maka orang yang meminta izin harus kembali. Namun demikian bukan berarti pemilik rumah memiliki kebebasan untuk mengusir tamunya. Tetap harus menjaga perasaan yang bertamu.
g.    Tidak diperbolehkan memasuki rumah yang di dalamnya tidak ada seorang pun. Namun hal ini berbeda jika rumah atau tempat kediaman yang akan dimasuki sudah tidak ada penghuninya atau memang sudah tidak dihuni lagi.
h.    Sebagai tuan rumah haruslah memuliakan tamu. Dalam artian penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah Saw dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.


[1]Imam An-Nawawi, Riadhus Shalihin (bab berbakti kepada orang tua dan mempererat tali keluarga),  Al-Harmain., 2005, h. 162.
[2]Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Kelompok Gema Insani, 2002, h. 353-354.
[3]Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: studi pendalaman Al-Quran, cet 1, Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada, 2002, h. 618.
[4]Ibid.
[5]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni,  Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003, h. 215.
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 219.
[8]Ibid., h.  220.
[9]Imam Al-Qurtubhi, , Tafsir Al-Qurthubi jilid 12,alih bahasa Ahmad Khotib, cet 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, h. 547.
[10]Ibid. h. 570.
[11]Ibid., h. 557.
[12]Shahih Muslim no 4016, lihat lidwa pusaka i-software,
[13]Imam Al-Qurtubhi , Tafsir Al-Qurthubi jilid 1..,  h. 541.
[14]Ibid., h. 559.
[15]Imam An-Nawawi, Riadhus Shalihin (bab hak tetangga dan berwasiat dengnnya), h. 160.

2 komentar:

  1. artikelnya sangat membantu:)

    BalasHapus
  2. Mohon terangkan pengertian 'tasta'nisu' sebagai "meminta izin"... walhal perkataan tasta'nisu ini tiada makna apa dalam bahasa arob...

    BalasHapus