A. Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik
Kabul, Afghanistan tahun 1839 dan meninggal di Istanbul tahun 1897. Tetapi
penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang
bernama sama (As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini
menyebabkan banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir
pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah
terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri,
dengan sebutan Al-Afghani.
Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin Ali
melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab
Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai
bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
Mengenai ketatanegaraan dalam Islam Al-Afgani
berpendapat bahwa sebenarnya Islam menghendaki
bentuk republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala
Negara wajib tunduk terhadap undang-undang. Pendapat ini merupakan pendapat
baru dalam duni perpolitikan umat Islam. sebab, sebelumnya dan sampai pada masa
Al-Afghani umat Islam dan pemikirannya hanya mengenal bentuk khilafah yang
mempunyai kekuasaan absolut.Sedangkan negara yang berpemerintahan republik yang
berkuasa adalah undang-undang dan hukum. Munculnya ide Al-Afghani tersebut
sebagai reaksi kepada salah satu sebab kemunduran umat Islam yang bersifat
politis, yaitu pemerintahan absolut.[1]
B. Al-Maududi
Namanya adalah Abul al-A’la al-Maududi,
lahir pada tahun 1903 di kota Aurangabad di wilayah Haidar Abad (India). Dia
berasal dari keluarga yang sangat terhormat. Keluarganya sangat terkenal dalam
masalah-masalah keilmuan dan Agama. Ayah Abul al-A’la al-Maududi tidak
memasukannya kesekolah-sekolah yang didirikan oleh inggris. Abul al-A’la
al-Maududi diajar sendiri oleh ayahnya dirumah. Abul al-A’la al-Maududi adalah
pimpinan redaksi pada tiga koran yang besar di India. Koran-koran yang dipimpin
olehnya adalah koran At Taj, Muslim dan koran Al-Jam’iyyah. Koran-koran
tersebut selalu membela umat Islam di India.
Mengenai ketatanegaraan dalam
Islam dalam pandangan Al-Maududi Islam mempunyai konsep yang berbeda dengan
konsep yang dimilki bangsa barat. al-Maududi
menyatakan bahwa dalam Islam, Allah sajalah yang memiliki keadaulatan. Dengan
berpegang pada prinsip utama ini, jika kita memperhatikan kedudukan orang-orang
yang diberi amanat untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dimuka bumi, maka
tepatlah kiranya jika orang-orang tersebut sebagai wakil-wakil Penguasa
tertinggi itu. Islam dengan tepat telah memberikan kedudukan ini kepada mereka Dalam
hubungan ini Alquran
menyatakan :
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh
diantaramu untuk mengangkat mereka sebagai wakil-wakil-Nya yang berkuasa di
muka bumi ini, sama seperti mereka yang telah diangkat-Nya dia antara
orang-orang (yang hidup) pada masa-masa sebelumnya. . .” (Q.S. 24:55)
Ayat tersebut dengan sangat jelas
mengemukakan teori negar Islam itu. Dua hal yang fundimental dapat ditarik
sebagai kesimpulan dari ayat tersebut:
1.
Islam menggunakan istilah “kekhalifahan”
(khilafah) dan bukan kedaulatan. Sebab, menurut Islam, kedaulatan itu hanya
dimiliki oleh Allah saja, siapa saja yang memegang kekuasaan dan pemerintahan
sesuai dengan hukum-hukum Allah tidak lain hanyalah wakil atau khalifah dari
Penguasa Tertinggi itu dan tidak berhak menjalankan kekuasaan lain selain yang
telah diserahkan kepadanya.
2.
Bahwa kekuasaan untuk memerintah
di muka bumi ini dijanjikan kepada masyarakat mukmin secara keseluruhan, dan
tidak dinyatakan bahwa kekuasaan itu akan diberikan kepada seseorang atau suatu
kelompok orang diantara mereka. Dari sini dapat disimpulkan bahwa semua orang beriman
berhak menduduki jabatan khilafah itu. Jabatan khilafah itu dianugrahkan Allah
kepada orang-orang yang beriman itu bersifat umum dan tidak terbatas. Tidak ada
pernyataan bahwa khilafah itu diberikan hanya kepada keluarga, kelompok
masyarakat atau ras tertentu saja. Setiap mukmin adalah Khalifah Allah sesuai
dengan kadar kemampuan individualnya. Dengan kedudukannya itu secara pribadi
dia bertanggung jawab kepada Allah. Rasulullah saw. pernah menyatakan : “Setiap
orang diantara mu adalah penguasa dan masing-masing bertanggung jawab atas
tugasnya sebagai penguasa”. Dengan demikian, sebagai khalifah, setiap
individu mempunyai kedudukan yang setingkat.[2]
C.
Komentar Penulis
Dari pemaparan singkat di atas dapat diketahui bahwa
pokok pemikiran dari Jamaluddin Al-Afghani adalah pada hakikatnya Islam
menghendaki sebuah negara berbentuk republik. Sebab, di dalamnya terdapat
kebebasan berpendapat dan kepala Negara wajib tunduk terhadap undang-undang.
Sedangkan pokok pemikiran dari Abu al-A’la al-Maududi ada dua. Pertama, Islam tidak menggunakan istilah
kedaulatan, sebab pada hakikatnya kedaulatan hanya dimilki Allah. Dalam
perpolitikan Islam menggunakan istilah khilafah. Kedua, semua orang beriman berhak menduduki
jabatan khilafah itu. Jabatan khilafah itu dianugrahkan Allah kepada
orang-orang yang beriman.
Menurut hemat penulis apabila
diperhatikan secara seksama, sebenarnnya antara pendapat Jamaluddin Al-Afghani
dan Abu al-A’la al-Maududi mempunyai kesamaan.
Kesamaan pendapat mereka berdua ini terletak pada “bahwa sesungguhnya dalam
dunia perpolitikan Islam tidak dikenal dengan sistem pemerintahan yang
turun-temurun sebagaimana yang telah dilakukan oleh daulah Bani Umayyah dan
Abbasiyah. Dalam perpolitikan Islam siapapun dapat menjadi pemimpin asalkan
benar-benar berjalan lurus di jalan Allah”.
[1]J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta : Grafindo Persada, 1994.
[2]Ainur Rahmah, “Biografi dan Pemikiran Pemikiran Politik Abul al-A’la al-Maududi”, http://himajinasiiainarraniry.blogspot.com/2013/09/biografi-dan-pemikiran-politik-abul-al.html diakses tanggal 12-03-2014 pukul 06:00 WIB
0 komentar:
Posting Komentar