Fazlur Rahman (1919 M- 1988 M) dikenal dalam islamic studies sebagai tokoh
intelektual Islam modernis yang tergolong brilliant. Sebagai tokoh intelektual Islam,
Fazlur Rahman tidak menutup mata terhadap tantangan kehidupan modern
yang penuh dengan permasalahan.
Berdasarkan keadaan ini nampaknya membuat Fazlur Rahman berpikir keras untuk menemukan
suatu metode yang mampu mengatasi problem yang
muncul dikalangan umat Islam.
Pada dasarnya untuk mengatasi suatu problem,
umat Islam memerlukan pemahaman terhadapa Alquran dan Sunah Nabi yang menjadi
sumber hukum dan pedoman hidupnya. Berkaitan dengan hal ini, untuk memahami
Alquran dan Sunah, Fazlur Rahman menawarkan sebuah teori yang dikenal dengan
istilah teori gerak ganda (double movement theory). Teori ini merupakan
suatu proses penafsiran yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah) dari
situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan dan kembali pada masa sekarang. Lantas
bagaimana penjelasan rincinya? Berikut akan penulis paparkan.
A. Biografi singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman selanjutnya disebut Rahman dilahirkan pada tanggal 21
September 1919 di Hazara sebelum terpecahnya India yang sekarang merupakan
bagian dari Pakistan. Dia berasal dari keluarga religius, ayahnya Maulana
Shihabuddin adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India Darul Ulum
Deoband. Di Doeband ayahnya belajar kepada beberapa tokoh yang terkemuka, diantaranya
Maulana Mahmud Hasan (wafat 1920) atau yang lebih dikenal dengan Syaikh Al-Hind
dan seorang fakih terkenal Maulana Rasyid Ahmad Gangohi (wafat 1905)[1]
Pada masa kanak-kanak, Rahman mendapatkan pendidikan formal di
Madrasah, di samping itu Rahman juga mendapatkan pembelajaran keislaman oleh
ayahnya. Rahman telah belajar ilmu-ilmu keislam semenjak dini, meliputi bahasa
Arab, Persia, Retorika (Mantiq), hadis, tafsir, fiqh, dan
sebagainya. Pada usia 10 tahun, Fazlur Rahman telah menamatkan hafalan Aquran.
Ini mencerminkan betapa ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius. Meskipun
Fazlur Rahman dibesarkan dalam kultur agama yang dianggap tradisional, itu
tidak berarti bahwa dia terikat dengan pemikiran madzhab yang dianutnya.[2]
Fazlur Rahman memiliki
sikap kritis yang membuat dirinya menjadi seorang pemikir yang berbeda dengan
kebanyakan orang. Sikap kritisnya tersebut terlihat ketika keputusannya untuk
melanjutkan studi ke Barat, Oxford University, Inggris.[3]
B.
Double Movement Theory
Double movement theory atau dalam bahasa Indonesia disebut teori
gerak ganda adalah teori yang digunakan oleh Rahman dalam memahami Alquran dan
Hadis Nabi. Dalam pandangan Rahman Alquran adalah firman Allah yang pada
dasarnya adalah satu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat
keagamaan dan moral bagi manusia, dan bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia
mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti salat, puasa dan haji.
Menurutnya, dari awal hingga akhir, Alquran selalu memberikan penekanan pada
semua aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh
karenanya, kepentingan sentral Alquran adalah manusia dan perbaikannya.
Hal yang senada juga diungkapkan Rahman
mengenai sunnah Nabi Saw. Ia beranggapan bahwa sunnah Nabi Saw merupakan
substansi perbaikan manusia. Dan oleh karena itu, menghidupkan al-sunnah
merupakan suatu keharusan dalam melakukan pembaharuan. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa sejumlah aturan-aturan hukum di dalam Alquran dan al-Sunnah
tidaklah bersifat final melainkan berlaku untuk selamanya, senantiasa berubah
dengan landasan utamanya yaitu kesesuaiaannya dengan alam realitas yang selalu
berubah pula, baik waktu atau tempatnya.[4]
Dari latar belakang pemikirannya itu, Rahman
menggunakan teori gerak ganda atau teori double movement yang ia
prakarsai dalam memberi pandangan terhadap Alquran, khususnya terhadap
ayat-ayat hukum.Teori ini merupakan suatu proses penafsiran yang ditempuh melalui
dua gerakan (langkah) dari situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan dan
kembali pada masa sekarang.[5]
1. Situasi sekarang menuju ke masa turunnya Alquran
Maksud gerak pertama pada teori Fazlur Rahman ini adalah menghendaki
adanya pemahaman makna Alquran dalam konteks kesejarahannya baik secara
spesifik di mana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global
bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro).[6]
Hasil pemahaman ini akan dapat membangun makna asli (original meaning)
yang dikandung oleh wahyu ditengah-tengah konteks sosial, moral era kenabian,
sekaligus juga dapat diperoleh gambaran situasi dunia yang lebih luas pada
umumnya saat ini. Penelitian dan pemahaman pokok-pokok semacam itu akan
menghasilkan rumusan narasi atau ajaran Alquran yang koheren tentang
prinsip-prinsip umum dan sistematik serta nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah
yang bersifat normatif. Di sinilah, peran penting konsep sebab turunnya ayat (asbãb
an-nuzũl).[7]
Menurut hemat penulis secara sederhana, dalam gerak yang
pertama ini seseorang akan memperoleh dua hal, yakni ideal moral dari suatu
hukum dan legal formal atau bentuk dari suatu hukum tersebut.
2. Situasi dari masa turunnya Al-Qur’an kembali
ke masa sekarang
Adapun yang dimaksud dengan gerak kedua ini adalah adalah
upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam
konteks penafsiran pada era kontemporer sekarang. Untuk mempraktikan gerak
kedua ini tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman (analisis) yang kompleks
terhadap suatu permasalahan.[8]
Konstruksi pemikiran Rahman tentang
hermeneutika Alquran dengan teori gerak gandanya adalah merupakan respon
terhadap penafsiran dan pemahaman Alquran yang bersifat “anomistis”[9]
serta pemahaman dan pendekatan sepotong-sepotong terhadap Alquran yang biasa
digunakan oleh para mufasir abad pertengahan, bahkan juga oleh para mufasir
tradisional era kontemporer sekarang. Puncak dari penafsiran dan pemahaman
Alquran yang bersifat anomistis ini adalah ketika munculnya ideologi penerapan
hukum yang kering, yakni pada era di mana fungsi hukum tidak dapat memelihara,
melindungi dan mengayomi budaya hukum yang selalu bergerak dinamis dan
energetik. [10]
Pada wilayah kerja yang sesungguhnya bersifat dialektis anatara hukum dan etik,
para penafsir hukum, ulama, dai, para tokoh dan organisasi sosial keagamaan
hanya meletakkan tekanan pada ayat-ayat Alquran yang terisolasi antar satu dan
yang lainnya dan hanya mampu mengemukakan contoh-contoh yang sangat khusus.
Sangat sedikit perhatian pada prinsip-prinsip umum (general principle)
yang berada di bawah berbagai ayat-ayat atau tema-tema yang khusus.[11]
Contoh sederhana dari teori gerak ganda Fazlur Rahman ialah dalam hal
poligami.[12] Dalam
hal poligami ini Fazlur Rahman
telah memberikan penjelasan tentang poligami yang oleh para fuqaha dianggap
sebagai asas perkawinan yang sah menurut Islam dalam Alquran
surah
An-Nisa ayat 3;
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا ﴿۳﴾
“Dan jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa:3)
Pada
gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar
belakang sosial budaya yang berlaku tentang status wanita pada waktu turunnya
ayat. Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh kaum lelaki dan
posisi kaum wanita sangatlah rendah, sehingga wajar saja ketika bunyi teks Alquran menyesuaikan dengan kondisi zaman
dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. Dengan
mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tentang
persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, Rahman beranjak ke gerakan kedua. Menurut Rahman, adalah sangat pelik
untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa masyarakat
harus tetap seperti masyarakat Arab abad ke-7 M, atau masyarakat abad
pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa anggapan mayoritas ulama
tentang monopoli kaum laki-laki atas perkawinan sama sekali tidak dicuatkan
dari Alquran.[13]
Rahman mengatakan bahwa poligami merupakan perkawinan yang bersifat
kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada pada saat itu,
yaitu tindakan para wali yang tidak rela mengembalikan harta kekayaan anak
yatim setelah anak itu menginjak usia cukup umur atau balig. Lantas Alquran
membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri
sampai batas empat orang.Tujuan Alquran di sini adalah untuk menguatkan
bagian-bagian masyarakat yang lemah, seperti, orang-orang miskin, anak-anak
yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang-orang yang terjerat hutang, sehingga
tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan egaliter. [14]
C.
Kelemahan Double Movement Theory
Jamal Abdul
Aziz dalam jurnalnya yang berjudul Teori gerak Ganda (Metode Baru Intinbat
hukum ala Fazlur Rahman) mengatakan bahwa teori gerak ganda ini memiliki
beberapa kelemahan. Di antara kelemahan teori gerak ganda yang
sering disoroti sebagian pengamat adalah teori ini hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus
yang bisa ditemukan teksnya dalam Alquran dan
Sunah yang diketahui latar belakang sosio-historisnya. Sedangkan pada kasus-kasus yang
hanya bisa ditemukan teksnya sementara latar belakangnya tidak diketahui
atau bahkan sama sekali tidak ditemukan teksnya, teori ini tidak dapat
diterapkan dan Rahmanpun tidak memberikan penjelasan. Dengan ketidakjelasan ini
dapat disimpulkan bahwa teori ini hanya berkepentingan untuk memberikan
metode yang terbatas pada pemahaman terhadap teks wahyu daripada
sebuah metode penggalihan hukum itu sendiri.
Penilaian ini
diperkuat oleh fakta bahwa Rahman sendiri menamakan usaha memahami Alquran
dengan cara menerapkan teori gerak ganda sebagai bentuk qiyas yang
sesungguhnya. Sebagaimana diketahui qiyas hanya mungkin dilakukan manakala kasus hukum yang baru memiliki padanannya dalam
teks wahyu. Jadi tidaklah mengherankan bila teorinya ini tidak bisa
diterapkan pada kasus-kasus yang tidak diketahui latar
belakang sosio-historisnya teks dalam Alquran dan Sunnah[15]
Selain bahwa dalam
kenyataannya teori ini hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus yang bisa
ditemukan teksnya dalam Alquran dan Sunnah yang diketahui latar belakang sosio-historisnya,
teori ini juga sangat sulit untuk diterima oleh masyarakat Islam pada umumnya
yang telah mendapat doktrin klasik “Apa
yang ada di Alquran harus dilakukan sesuai bunyi teks Alquran tersebut dan
tidak boleh dirubah-rubah”.
Berbeda dengan teori gerak
ganda, metode pemahaman, khususnya metode istinbat hukum, terhadap
teks-teks wahyu yang selama ini dipraktekkan para ulama dan yang kemudian
diajarkan secara luas dalam bentuk ilmu usul
fikih jauh lebih mudah dimengerti dan
diterapkan. Seorang penafsir Alquran, misalnya, tidak perlu repot-repot mencari dan memahami konteks sosio-historis
munculnya hukuman potong tangan bagi pencuri
karena sudah begitu jelas disebutkan dalam
teks. Mereka hanya perlu memastikan pengertian yang dikandung dalam lafaz nas
tersebut dari aspek 'amm-khass, haqiqah-majaz
dan sebagainya.[16]
D.
Pengaruh Pemikiran Fazlur Rahman Terhadap
Pembaharuan Hukum Islam
Terlepas dari pendapat Jamal Abdul Aziz dalam jurnalnya yang mengatakan bahwa
salah satu pemikiran Rahman yakni teori Gerak Ganda mempunyai kelemahan, namun
secara nyata pemikirannya telah melanda hampir seluruh dunia melalui karya
tulisnya yang telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Hal ini menunjukan bahwa
pemikiran Rahman dapat diterima kaum Muslim dari berbagai konteks sosio kultural
terlebih lagi oleh mereka yang sibuk mempelajari [17]
Kehadiran Fazlur Rahman dalam peta pemikiran hukum Islam seolah-olah
merupakan jawaban metodologi dan pembaharuan hukum Islam yang selama ini
menjadi perdebatan di antara para ahli hukum Islam. Di Indonesia sendiri ada
beberapa tokoh yang ikut menaruh perhatian yang sangat serius terhadap
pembaharu hukum Islam seperti Hazairin dan Hasbi ash-Shiddieqy. Jika melihat
usaha yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Indonesia terhadap pembahauan hukum Islam
yang ada di Indonesia ternyata menunjukan adanya kecenderungan kepada corak New-Modernisme
yang selalu dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Ini dapat direpresantikan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi produk legislasi di Indonesia.
Ciri-cirinya adalah; pertama, mempertimbangkan seluruh tradisi Islam,
baik yang bersifat tradisional maupun yang bersifat modern; kedua, pembedaan
antara Islam normatif dan historis; ketiga, digunakannya metode ilmiyah
dalam upaya reformasi hukum Islam, berdasarkan khazanah intelektualisme Islam
klasik dan akar-akar spiritualisme Islam; keempat, Penafsiran Alquran
dan Al-sunah secara historis, sosiologis dan kronologis; kelima, ada
antara pembedaan ideal moral dan legal spesipik, dengan mengedepankan
ide moral; keenam, upaya mensistematis metode penafsiran modernisme
klasik; dan ketujuh memasukan masalah kekinian kedalam pertimbangan
reinterpretasi Alquran.[18]
[1]Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Cet II, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001, h. 1.
[2]Labib Muttaqin, “Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap
Doktrin Kewarisan Islam Klasik”, Jurnal kajian hukum Islam /vol-6 No-2-2013, h. 3.
[3]Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer,
Cet I, Yogyakarta, 2002, h. 45.
[4]Ibid.
[5]Jamal Abdul Aziz, “Teori gerak Ganda (Metode Baru Istinbat hukum ala Fazlur Rahman)” Jurnal Hermeneia\Vol-6
No-2-2007, h. 2.
[7]Imam Syaukani, Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam
Indonesia, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006, h. 136.
[9]Berkaitan dengan analisis
sampai ke bagian yangg
sekecil-kecilnya sehingga melupakan bahwa bagian-bagian itu ada hubungannya.
[10]Imam Syaukani, Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia..., h.
137-138.
[15]Jamal Abdul Aziz, “Teori gerak Ganda..., h. 18.
[17]Abdul Manan, Reformasi hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persda, 2006, h. 236.
Mantap akhiii 👍👍👍
BalasHapus