Pages

Kamis, 11 Desember 2014

Hukuman Bagi Yang Mengumpuli Isteri ketika puasa di bulan Ramadhan.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Berkaitan dengan puasa, umat Muslim wajib memperhatikan peraturan-peraturan yang berhubungan dengannya agar puasanya tersebut tidaklah sia-sia.  Contoh peraturan yang harus diperhatikan oleh orang yang berpuasa adalah tidak berhubungan badan pada siang hari. Lantas bagaimana jika terjadi hubungan suami Isteri pada siang hari?. Rasulullah Saw bersabda;
عن أبى هريرةرضي الله عنه قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِ -صَلَّى الله عليه وسلَّمَ- فقالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ, قَالَ صلى الله عليه وسلم: "ومَا أهْلَكَكَ"؟ قال: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِيْ فِيْ رَمَضَانَ, قاَلَ صَلَّى الله عليه وسلمَ: "هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً"؟ قَالَ: لاَ, قَالَ صلى الله عليه وسلم: "فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ"؟ , قَالَ: لاَ, قَالَ صَلَّى الله عليه وسلمَ: "فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِينًا"؟ قال: لاَ, قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ فَأَتَى النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ, قَالَ: "تَصَدَّقْ بِهَذا" , قَالَ: فَهَلْ على أفقر منَّا، فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- حَتىَّ بَدَتْ نَوَاجِذُهُ, وقال صلى الله عليه وسلم: "اذهب فَأَطْعِمْهُ أهلكَ
Dari Abu Hurairah R.a ia berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw. Lalu dia berkata: Celakalah aku ya Rasulullah! Rasulullah bertanya “Apa sebabnya engkau celaka?”. laki-laki itu menjawab: aku menyetubuhi istriku pada siang hari di bulan Ramdhan. Nabi Saw bertanya “Sanggupkah engkau memerdekakan seorang budak?” laki-laki itu menjawab: tidak. Nabi Saw bertanya: “Sanggupkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut? ia menjawab: tidak. Nabi Saw bertanya “Sanggupkah engkau memberi makan enam puluh orang miskin? laki-laki itu menjawab: tidak sanggup. Abu Hurairah berkata: Kemudian laki-laki itu duduk. Dan Nabi Saw membawa sebuah keranjang berisi kurma. Kemudian Nabi bersabda: “Bersedekahlah kamu dengan ini”. Laki-laki itu menjawab: tentu sedekah itu diberikan kepada orang yang lebih miskin dari kami, agaknya tidak ada penduduk disekitar sini yang lebih miskin dari kami. Mendengar ucapannya itu Nabi Saw tertawa sampai kelihatan giginya. Kemudian Nabi Saw bersabda kepada laki-laki itu, “Bawalah pulang dan berilah makan keluargamu dengan ini”.[1]
Dari keterangan hadis di atas ada beberapa hal yang dapat kita ketahui. Pertama, kafarat bagi orang yang menggauli istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan adalah dengan memerdekakan budak. Kedua, jika tidak mampu untuk memerdekakan budak atau orang tersebut mampu namun tidak ditemukannya budak untuk dimerdekakan seperti halnya pada masa sekarang maka orang tersebut dapat menggantinya dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak mampu berpuasa untuk berpuasa dua bulan berturut-turut maka dapat menggantinya dengan memberi makan orang miskin sebanyak enam puluh orang.
Berikut ini akan penulis paparkan mengenai pendapat para ulama di bidang fikih mengenai kafarat bagi orang yang menggauli istrinya pada siang hari di bulan ramadhan.
1.      Berkaitan dengan siapa yang diwajibkan membayar kafarat menurut imam syafi’i keharusan membayar kafarat itu dibebankan kepada laki-laki(suami). Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pembayaran tersebut dibebankan kepada istri jika istri yang berkeinginan keras untuk melakukan hal tersebut. Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa apabila seorang tuan mendatangi hambanya di siang hari pada bulan Ramadhan tuan tersebut terkena dua beban kafarat, yaitu kafarat bagi dirinya dan kafarat bagi hambanya. Imam Ahmad berbendapat bahwa istri tidak dikenakan kafarat jika ada sebab yang menghalanginya.[2]
2.      Berkaitan dengan memerdekakan budak menurut Abu Hanifah pemerdekaan atau pembebasan budak dalam teks hadis di atas bersifat umum sehingga menurutnya baik budak atau hamba sahaya tersebut kafir, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa tidak dipermasalahkan. Sedangkan menurut jumhur ulama pembebasan budak atau hamba sahaya di atas hanya terbatas pada hamba sahaya yang mukmin, yakni dengan membawa ungkapan yang bersifat mutlak pada ungkapan bersifat muqayyad, sebagaimana yang terdapat di dalam ayat kifarat pembunuhan yang membatasi pada hamba sahaya yang mukmin, sebagai berikut:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ  
...Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman... (Q.S. An-Nisa: 92)[3]

3.      Berkaitan dengan memberi makan enam puluh orang miskin menurut Imam Syafi’i dan Malik makanan yang harus diberikan kepada oarang miskin sekadar satu mud makanan pokok suatu negeri, yakni sama dengan 675 Gram. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa makanan yang harus dikeluarkan bagi setiap orang miskin itu adalah senilai cukup untuk berbuka puasa, yakni setengah sha’ gandum atau setengah sha’ kurma atau yang senilai dengan ukuran tersebut. Adapun Imam Ahmad berpendapat bahwa makanan yang harus dikeluarkan bagi setiap orang miskin itu adalah satu mud gandum atau setengah sha’ kurma.[4]





[1]Shahih Muslim, software kutub at-tis’ah, hadis no 1870
[2]Taufik Rahman, Hadis-hadis Hukum, Bandung: Cv Pustaka Setia, 2000, Cet I, h. 70.
[3]Ibid., h. 67.
[4]Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar