Para ulama
menyebutkan bagi orang yang meninggal dengan memiliki tanggungan puasa dalam
hal ini ada dua kondisi:
1. Dia meninggal sebelum memungkinkan untuk
berpuasa, entah karena sempitnya waktu atau karena ada udzur (seperti sakit,
perjalanan atau tidak mampu berpuasa). Dalam kondisi demikian menurut jumhur
ulama dia tidak wajib menebus apapun. Sebab dia tidak melakukan kelalaian juga
tidak berdosa karena itu adalah kewajiban yang tidak sempat ditunaikan karena
dia terlebih dahulu meninggal.[1]
2. Dia meninggal setelah memungkinkan untuk
membayar puasanya (qhada). Dalam keadaan seperti ini ada perbedaan
pendapat di antara para ulama apakah puasa tersebut harus dibayar oleh walinya
atau tidak.
a. Pendapat Imam Hanafi
Para ulama dari Madzhab Hanafi berpendapat dalam kondisi ini walinya
tidak berpuasa atas namanya, yakni puasanya tidak wajib secara mutlak. Tetapi
walinya harus memberikan makanan atas namanya jika memang ada wasiat, yaitu
berupa setengah sha’ gandum , atau satu sha’ kurma atau jewawut atau anggur
kering, atau yang setara dengan nilainya.[2]
b. Pendapat Imam Syafi’i
Dalam qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang
muslim yang meninggal dunia setelah memungkinkan untuk meng-qadha puasa,
bagi walinya (semua kerabatnya, menurut pendapat yang mukhtar) harus
meng-qadha puasanya tanpa membayar satu mudd makanan.[3] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa walinya
dapat memilih antara meng-qhada atau membayar dengan satu mudd setiap
harinya.[4] Ketentuan
ini sesuai hadis;
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya: “Barangsiapa meninggal
dunia dan mempunyai tanggungan puasa maka hendaklah walinya berpuasa atas
namanya”.(H.R. Bukhari dan Muslim) [5]
Sedangkan dalam qaul jadidnya Imam Syafi’i mengatakan
bahwa walinya tersebut tidak sah jika berpuasa atas nama yang meninggal. Sebab
hal ini merupakan ibadah badaniah mahdhah yang wajib berdasarkan syara’. Maka
dari itu tidak dapat diwakilkan semasa masih hidup maupun sesudah meninggal,
sama halnya dengan shalat. Dalilnya adalah hadis:
لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ
عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعَمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ حِطَّةٍ
Artinya: “Seseorang tidak boleh menunaikan shalat atas
nama orang lain, juga tidak boleh berpuasa atas nama orang lain. Tetapi,
hendaknya dibayarkan makanan sebanyak satu mudd gandum setiap harinya”.[6]
c. Pendapat Imam Ahmad dan Ishak
Menurut Imam Ahmad dan Ishak, jika seseorang meninggal
dunia dan punya tanggungan hutang puasa, walinyalah yang membayarnya jika
menyangkut puasa nadzar. Tetapi jika menyangkut puasa Ramdhan, si wali harus
memberikan satu mudd setiap hari, berdasarkan hadis Ibnu Abbas;
“Seorang wanita datang menemui Nabi Muhammad Saw dan
berkata “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan mempunyai
tanggungan puasa nadzar. Apakah aku boleh berpuasa atas namanya?” Belia
menjawab “Bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai hutang kemudian kamu bayar
hutangnya itu?” Ia menjawab “Tentu”. Beliau bersabda “Maka berpuasalah atas
nama ibumu”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Para ulama yang berpendapat wajib membayar puasa fidyah,
maka fidyah tersebut diambilkan dari sepertiga harta peninggalan si
mayit yang punya ahli waris. Kalau ia tidak punya ahli waris sama sekali, maka fidyah
dikeluarkan dari seluruh hartanya. Ini kalau si mayit memang berwasiat.
Jika tidak berwasiat, menurut para ulama dari kalangan Hanafi dan maliki, para
ahli waris tidak wajib memberi makan kepada orang miskin. Sedangkan Imam Ahmad
dan Imam Syafi’i tetap mewajibkannya. [7]
[1]Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid III, alih bahasa:
Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Cet I , Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 124.
[2]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah,alih bahasa: Abdul Rosyad Shiddiq,
Cet II, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 667.
[4]Jaih Mubarok, Modifikasi Studi Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl
Jadid, Cet 1, Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, 2002, h. 204-205.
[5]Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa: Muhammad Afifi dan
Abdul Hafiz, Cet I, Jakarta: Almahira,
2010, h. 499.
[6]Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid III.., h. 124
[7]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah.., h. 668.
0 komentar:
Posting Komentar