Pages

Sabtu, 21 Februari 2015

Puasa Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Para ulama menyebutkan bagi orang yang meninggal dengan memiliki tanggungan puasa dalam hal ini ada dua kondisi:
1.      Dia meninggal sebelum memungkinkan untuk berpuasa, entah karena sempitnya waktu atau karena ada udzur (seperti sakit, perjalanan atau tidak mampu berpuasa). Dalam kondisi demikian menurut jumhur ulama dia tidak wajib menebus apapun. Sebab dia tidak melakukan kelalaian juga tidak berdosa karena itu adalah kewajiban yang tidak sempat ditunaikan karena dia terlebih dahulu meninggal.[1]
2.      Dia meninggal setelah memungkinkan untuk membayar puasanya (qhada). Dalam keadaan seperti ini ada perbedaan pendapat di antara para ulama apakah puasa tersebut harus dibayar oleh walinya atau tidak.
a.       Pendapat Imam Hanafi
Para ulama dari Madzhab Hanafi  berpendapat dalam kondisi ini walinya tidak berpuasa atas namanya, yakni puasanya tidak wajib secara mutlak. Tetapi walinya harus memberikan makanan atas namanya jika memang ada wasiat, yaitu berupa setengah sha’ gandum , atau satu sha’ kurma atau jewawut atau anggur kering, atau yang setara dengan nilainya.[2]
b.      Pendapat Imam Syafi’i
Dalam qaul qadimnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang muslim yang meninggal dunia setelah memungkinkan untuk meng-qadha puasa, bagi walinya (semua kerabatnya, menurut pendapat yang mukhtar) harus meng-qadha puasanya tanpa membayar satu mudd makanan.[3] Dalam riwayat lain disebutkan bahwa walinya dapat memilih antara meng-qhada atau membayar dengan satu mudd setiap harinya.[4] Ketentuan ini sesuai hadis;
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya: “Barangsiapa meninggal dunia dan mempunyai tanggungan puasa maka hendaklah walinya berpuasa atas namanya”.(H.R. Bukhari dan Muslim) [5]
Sedangkan dalam qaul jadidnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa walinya tersebut tidak sah jika berpuasa atas nama yang meninggal. Sebab hal ini merupakan ibadah badaniah mahdhah yang wajib berdasarkan syara’. Maka dari itu tidak dapat diwakilkan semasa masih hidup maupun sesudah meninggal, sama halnya dengan shalat. Dalilnya adalah hadis:
لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعَمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ حِطَّةٍ
Artinya: “Seseorang tidak boleh menunaikan shalat atas nama orang lain, juga tidak boleh berpuasa atas nama orang lain. Tetapi, hendaknya dibayarkan makanan sebanyak satu mudd gandum setiap harinya”.[6]

c.       Pendapat Imam Ahmad dan Ishak
Menurut Imam Ahmad dan Ishak, jika seseorang meninggal dunia dan punya tanggungan hutang puasa, walinyalah yang membayarnya jika menyangkut puasa nadzar. Tetapi jika menyangkut puasa Ramdhan, si wali harus memberikan satu mudd setiap hari, berdasarkan hadis Ibnu Abbas;
“Seorang wanita datang menemui Nabi Muhammad Saw dan berkata “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan mempunyai tanggungan puasa nadzar. Apakah aku boleh berpuasa atas namanya?” Belia menjawab “Bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai hutang kemudian kamu bayar hutangnya itu?” Ia menjawab “Tentu”. Beliau bersabda “Maka berpuasalah atas nama ibumu”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Para ulama yang berpendapat wajib membayar puasa fidyah, maka fidyah tersebut diambilkan dari sepertiga harta peninggalan si mayit yang punya ahli waris. Kalau ia tidak punya ahli waris sama sekali, maka fidyah dikeluarkan dari seluruh hartanya. Ini kalau si mayit memang berwasiat. Jika tidak berwasiat, menurut para ulama dari kalangan Hanafi dan maliki, para ahli waris tidak wajib memberi makan kepada orang miskin. Sedangkan Imam Ahmad dan Imam Syafi’i tetap mewajibkannya. [7]



[1]Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid III, alih bahasa: Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Cet I , Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 124.
[2]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah,alih bahasa: Abdul Rosyad Shiddiq, Cet II, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 667.  
[3]satu mud sama dengan 675 gram.
[4]Jaih Mubarok, Modifikasi Studi Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Cet 1, Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, 2002, h. 204-205. 
[5]Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, alih bahasa: Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz,  Cet I, Jakarta: Almahira, 2010, h. 499.
[6]Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid III.., h. 124
[7]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah.., h. 668.

0 komentar:

Posting Komentar