BERPERANTARA YANG MENYEKUTUKAN ALLAH
Sayyid
Muhammad Alwi al-Maliki dalam Kitabnya Mafahimu Yajibu an Tushahhaha, menerangkan
bahwa kebanyakan orang acapkali keliru dalam memahami “Perantaraaan” (al-Wasithah)
dan keperantaraan, lalu secara serampangan menuduh bahwa berperantara itu
adalah suatu bentuk kemusyrikan; dan barang siapa yang mengambil perantara
apapun bentuknya, maka dia telah menyekutukan Allah Swt, dan kedudukannya sama
dengan orang-orang musyrik yang mengatakan “Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Pernyataan orang-orang Musyrik ini dapat diketahui dalam firman-Nya
أَلَا
لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung
selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah
mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka
tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (Az-Zumar ayat 3)
Sayyid
Muhammad Alwi al-Maliki mengatakan bahwa pendapat demikian (pendapat yang
mengatakan bahwa kedudukan orang yang mengambil perantaraan sama dengan
orang-orang Musyrik) adalah pendapat
yang tidak dapat diterima. Orang yang demikian adalah orang yang berdalil
dengan ayat namun bukan pada tempatnya. Sebab, maksud ayat yang mulia itu
tertuju pada pengingkaran orang-orang Musyrik atas penyembahan mereka kepada
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan selain Allah Swt. Mereka (orang-orang
Musyrik) menyatakan bahwa penyembahan mereka kepada berhala-berhala tersebut
adalah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Jadi, kekafiran dan kemusyrikan mereka itu adalah dari sisi penyembahan mereka
(kepada berhala-berhala) dan dari sisi keyakinan mereka bahwa berhala-berhala
tersebut adalah tuhan-tuhan selain Allah Swt.
Lebih
lanjut beliau menjelaskan, kedudukan antara orang yang mengambil perantara
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan orang-orang musyrik yang mengatakan
bahwa mereka menyembah berhala adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah
adalah sangat jauh berbeda. Beliau memberikan analogi dengan tindakan kaum
Muslim yang mencium Hajar Aswad. Telah diketahui semua orang bahwa hajar Aswad
adalah sebuah batu. Namun demikian tindakan mencium Hajar Aswad bukanlah suatu
bentuk penyembahan kepada batu tersebut, tetapi ia adalah bentuk penyembahan
kepada Allah Swt dan mengikuti sunah Rasulullah Saw. Seandainya ada seorang
Muslim yang berniat menyembah Hajar Aswad, maka sudah tentu dia telah menjadi
seorang Musyrik seperti para penyembah berhala lainnya.
Dengan demikian,
mengambil perantara merupakan suatu keharusan (kebolehan), dan ia bukan suatu
kemusyrikan. Dengan kata lain, adalah tidak benar sangkaan bahwa setiap orang
yang mengambil perantara itu tergolong sebagai orang Musyrik. Sebab, jika tidak
demikian, niscaya seluruhh umat Muslim adalah orang-orang yang menyekutukan
Allah Swt karena semua uruan dan tindakan mereka terbangun berasarkan
perantara. Nabi Muhammad Saw misalnya, beliau menerima Alquran melalui
perantaraan Jibril As, maka jibril As adalah perantara bagi Nabi Muhammad saw,
dan Nabi Saw pun sebagai perantara terbesar bagai para sahabat beliau.
Para
sahabat nabi Saw bisa meminta pertolongan kepada Nabi Saw dalam menghadapi
segala perkara yang genting dan menjadikan beliau sebagai tempat pengaduan
berbagai permasalahn pribadi mereka. Mereka juga bis bertawasul dengan Nabi Saw
kepada Allah Swt dan memohon doa kepada beliau.
Atas
semua tindakan para sahabat itu, Rasulullah tidak pernah mengatakan “Kalian
telah menyekutukan Allah Swtdan telah kafir kepada-Nya, karena sesungguhnya
kalian tidak boleh mengadu kepadaku dan tidak pula boleh meminta doa kepadaku,
akan tetapi kalian harus pergi dan memohon sendiri kepada Allah karena
sesungguhnya Allah itu lebih dekat kepada kalian daripadaku” Sungguh Rasulullah Saw tidak pernah mengatakan demikian.
Sebaliknya,
Rasulullah Saw bediri dan berdo’a untuk mereka, padahal mereka mengetahui
sebenar-benarnya bahwa pemberi yang sebenarnya adalah Allah Swt, dan bahwa yang
mencegah rizki, Yang Meluaskan Riski, dan Yang Memberi rizki hanyalah Allah
Azza Wa Jalla, dan bahwa Rasulullah Saw memberi itu hanyalah karena Izin Allah
dan karunia-Nya.
Dengan
demikian, menjadi jelas bahwa kita dibolehkan menyifati manusia dengan ungkapan
“Dia telah menghilangkan kesusahan dan memenuhi kebutuhan.” Dalam arti orang
tersebut sebagai perantara atas semua hal itu. Jika terhadap manusia biasa
penyifatan hal tersebut dibolehkan apalagi terhadap sayyidul-karim, junjungan
kita yang mulia, Muhammad Saw, Nabi yang
agung, Manusia yang paling Mulia di dunia dan Akhirat, pemimpin manusia dan
jin, dan seutama-utama makhluk Allah secara mutlak.
Dikutip
dari Terjemah Kitab Mafahimu Yajibu an Tushahhaha karya Sayyid Muhammad
Alawi Al-Maliki, alih Bahasa Tholib Anis, JakSel ; Al-Huda, cet 1, 2011, h.
76-84.
0 komentar:
Posting Komentar