Pages

Senin, 02 Juni 2014

BERPERANTARA YANG MENYEKUTUKAN ALLAH


BERPERANTARA YANG MENYEKUTUKAN ALLAH
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki dalam Kitabnya Mafahimu Yajibu an Tushahhaha, menerangkan bahwa kebanyakan orang acapkali keliru dalam memahami “Perantaraaan” (al-Wasithah) dan keperantaraan, lalu secara serampangan menuduh bahwa berperantara itu adalah suatu bentuk kemusyrikan; dan barang siapa yang mengambil perantara apapun bentuknya, maka dia telah menyekutukan Allah Swt, dan kedudukannya sama dengan orang-orang musyrik yang mengatakan “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Pernyataan orang-orang Musyrik ini dapat diketahui dalam firman-Nya 
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (Az-Zumar ayat 3)
Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki mengatakan bahwa pendapat demikian (pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan orang yang mengambil perantaraan sama dengan orang-orang Musyrik)  adalah pendapat yang tidak dapat diterima. Orang yang demikian adalah orang yang berdalil dengan ayat namun bukan pada tempatnya. Sebab, maksud ayat yang mulia itu tertuju pada pengingkaran orang-orang Musyrik atas penyembahan mereka kepada berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan selain Allah Swt. Mereka (orang-orang Musyrik) menyatakan bahwa penyembahan mereka kepada berhala-berhala tersebut adalah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Jadi, kekafiran dan kemusyrikan mereka itu adalah dari sisi penyembahan mereka (kepada berhala-berhala) dan dari sisi keyakinan mereka bahwa berhala-berhala tersebut adalah tuhan-tuhan selain Allah Swt. 
Lebih lanjut beliau menjelaskan, kedudukan antara orang yang mengambil perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa mereka menyembah berhala adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah sangat jauh berbeda. Beliau memberikan analogi dengan tindakan kaum Muslim yang mencium Hajar Aswad. Telah diketahui semua orang bahwa hajar Aswad adalah sebuah batu. Namun demikian tindakan mencium Hajar Aswad bukanlah suatu bentuk penyembahan kepada batu tersebut, tetapi ia adalah bentuk penyembahan kepada Allah Swt dan mengikuti sunah Rasulullah Saw. Seandainya ada seorang Muslim yang berniat menyembah Hajar Aswad, maka sudah tentu dia telah menjadi seorang Musyrik seperti para penyembah berhala lainnya.
Dengan demikian, mengambil perantara merupakan suatu keharusan (kebolehan), dan ia bukan suatu kemusyrikan. Dengan kata lain, adalah tidak benar sangkaan bahwa setiap orang yang mengambil perantara itu tergolong sebagai orang Musyrik. Sebab, jika tidak demikian, niscaya seluruhh umat Muslim adalah orang-orang yang menyekutukan Allah Swt karena semua uruan dan tindakan mereka terbangun berasarkan perantara. Nabi Muhammad Saw misalnya, beliau menerima Alquran melalui perantaraan Jibril As, maka jibril As adalah perantara bagi Nabi Muhammad saw, dan Nabi Saw pun sebagai perantara terbesar bagai para sahabat beliau. 
Para sahabat nabi Saw bisa meminta pertolongan kepada Nabi Saw dalam menghadapi segala perkara yang genting dan menjadikan beliau sebagai tempat pengaduan berbagai permasalahn pribadi mereka. Mereka juga bis bertawasul dengan Nabi Saw kepada Allah Swt dan memohon doa kepada beliau.
Atas semua tindakan para sahabat itu, Rasulullah tidak pernah mengatakan “Kalian telah menyekutukan Allah Swtdan telah kafir kepada-Nya, karena sesungguhnya kalian tidak boleh mengadu kepadaku dan tidak pula boleh meminta doa kepadaku, akan tetapi kalian harus pergi dan memohon sendiri kepada Allah karena sesungguhnya Allah itu lebih dekat kepada kalian daripadaku” Sungguh Rasulullah Saw tidak pernah mengatakan demikian.
Sebaliknya, Rasulullah Saw bediri dan berdo’a untuk mereka, padahal mereka mengetahui sebenar-benarnya bahwa pemberi yang sebenarnya adalah Allah Swt, dan bahwa yang mencegah rizki, Yang Meluaskan Riski, dan Yang Memberi rizki hanyalah Allah Azza Wa Jalla, dan bahwa Rasulullah Saw memberi itu hanyalah karena Izin Allah dan karunia-Nya. 
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kita dibolehkan menyifati manusia dengan ungkapan “Dia telah menghilangkan kesusahan dan memenuhi kebutuhan.” Dalam arti orang tersebut sebagai perantara atas semua hal itu. Jika terhadap manusia biasa penyifatan hal tersebut dibolehkan apalagi terhadap sayyidul-karim, junjungan kita yang mulia, Muhammad Saw, Nabi  yang agung, Manusia yang paling Mulia di dunia dan Akhirat, pemimpin manusia dan jin, dan seutama-utama makhluk Allah secara mutlak.

Dikutip dari Terjemah Kitab Mafahimu Yajibu an Tushahhaha karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, alih Bahasa Tholib Anis, JakSel ; Al-Huda, cet 1, 2011, h. 76-84.

0 komentar:

Posting Komentar